Di tengah wabah grafik penyebaran wabah Covid-19 yang terus
meroket, Indonesia justru bersiap menjalankana “New Normal Life”. Padahal dari WHO sendiri telah memberikan
syarat-syarat tertentu untuk negara yang akan melakukan “New Normal Life”.
Indonsia masih jauh dari standar tersebut, namun sudah mulai membuka semua
fasilitas umum, termasuk tempat pariwisata.
Kalsel yang saat ini termasuk peringkat 3 tingginya
penyebaran wabah pun ikut latah membuka tempat pariwisata. Pantai Asamara di
Tanah Laut, Candi Agung di Amuntai dan Pantai Gedambaan di Kotabaru adalah
beberapa yang sudah dibuka kembali.
Meski menekankan agar pengelola tempat pariwisata memastikan
semua aktivitas berjalan sesuai protokol kesehatan tetap saja hal ini bukan
kebijakan yang tepat. Pasalnya, tidak ada yang bisa menjamin semua pengunjung
akan melakukan sesuai ketetapan. Petugas pun pasti tidak bisa mengawasi seluruh
pengunjung dari masuk hingga keluar tetap mematuhi protokol kesehatan.
Tentu saja urusannya tak semudah mencek suhu tubuh
pengunjung dan memberi masker gratis pada pengunjung yang tidak memakai masker.
Siapa jamin yang suhu tubuhnya normal pasti bersih dari virus.
Bukankah sudah menjadi informasi umum bahwa orang yang
terkena Covid-19 ni tidak serta merta suhu tubuhnya naik. Bahkan bagi yang
imunitasnya tinggi dia tidak akan menunjukan gejala apapun. Namun ia telah
menjadai pembawa virus dan berpotensi menularkannya pada yang lain.
Belum lagi kesadaran masyarakat kita yang sangat rendah. Meski
masker diberi gratis kalau tidak ada pemahaman dalam diri seseorang sulit
mengahapkan mereka disiplin. Inilah salah satu sebab penularan virus terus
meningkat. Karenanya membuka tempat pariwisata jelas akan menambah besar resiko
penularan wabah.
Memang kita semua menyadari bahwa pandemi yang kemudian
menyebabkan semua aktivitas luar dikurangi dan tempat-tempat publik ditutup
berdampak pada ekonomi. Sehingga pemerintah mengharapkan bisa kembali mendapat
pemasukan dari dibukanya tempat pariwisata ini.
Namun jika kita mau lebih jeli, ekonomi siapa yang akan
membaik dengan dibukanya pariwisata ini? Masyarakat kecil kah? Sementara masyarakat
kecil posisinya justru sebagai “pembeli” produk pariwisata ini dengan menjadi
pengungjung dan membayar tiket masuknya.
Jikapun ada yang ikut mendapat pemasukan yaitu para pekerja
di pengelolaan pariwisata tersebut yang pastinya jumlahnya tidak banyak. Selebihnya
dana masuk jelas akan menebalkan kantong pengelola. Siapa lagi kalau bukan para
pengusaha.
Kedua, resiko virus ini adalah nyawa manusia. Tidakkah sebuah
nyawa itu harusnya lebih berharga dari sekedar kehidupan ekonomi yang juga
tidak ada kepastian akan membaik setelah pariwisata dibukan. Sebagaiman sabda
Rasulullahay, “matinya seorang manusia sama dengan matinya manusia semuanya.”
Lagipula bisakah kita mendapati perekonomian yang membaik
jika semakin hari semakin banyak yang terpapar virus. Bisakah ekonomi sebuah
negara sehat dengan masyarakat yang sakit.
Selain itu, tanpa disadari “New Normal” ini adalah ciri khas
sistem sekuler kapitalis dalam menangani masalah. Yakni negara sedapat mungkin
harus berlepas tangan dari urusan masyarakatnya. Negara hanya menghitung berapa
keuntungan yang akan mereka dapatkan.
Saat pariwisata dibuka, alat tes panas dan semua keperluan
lainnya harus disiapkan sendiri oleh individu atau pengelola wisata. Padahal semua
itu merupakan layanan kesehatan yang seharusnya ditanggung negara.
Demikianlah fakta pembukaan wisata oleh pemerintah semakin
menegaskan bahwa dalam sistem sekuler kapitalis mustahil mewujudkan pemerintah
yang mengayomi dan melindungi masyarakatnya sebagaimana dalam Islam.
Islam memiliki pola pandang yang khas. Melayani kepentingan
rakyat dan memberikan perlindungan kepada rakyat adalah sebuah prestasi
tertinggi bagi penguasa dalam sistem Islam. Segala upaya akan dilakukan untuk
segera menyelesaikan masalah pandemi.
Jika memang menurut
para ahli harus dihentikan dengan melakukan isolasi maka negara akan menempuh
cara itu tanpa berhitung untung rugi. Semua kebutuhan masyarakat selama isolasi
akan dicukupi dari semua yang negara miliki.
Dalam Islam negara memang memiliki post pendapatan yang amat
beragam, termasuk yang terbesar adalah dari pengelolaan harta milik bersama
seperti SDA. Jika dilihat dari sini Indonesia ini tergolong mampu karena SDA
yang dimiliki cukup besar. Mampu memenuhi kebutuhan rakyat selam isolasi dan
mampu memberikan pengobatan terbaik kepada seluruh pasien sehingga wabah ini
cepat teratasi.
Setlah keadaan normal kembali barulah tempat umum dibuka
kembali temasuk pariwisata. Bukan untuk menarik pendapatan darinya melainkan
untuk menyempurnakan pelayanan kepada masyarakat. Tidak seperti saat ini yang negara justru
memilih buru-buru membuka tempat-tempat umum yang mengandung nilai ekonomis. Apalagi
kalau bukan demi kepentingan kaum borjuis. Saat yang sama meraka tega mempertaruhkan
nyawa rakyatnya.
Sungguh ironi hidup di negeri yang menyingkirkan hukum
Ilahi. Sudah selayaknya kehidupan abnormal seperti ini harus kita akhiri. Lalu
dengan mantap mengambil solusi Islam yang tak hanya mampu memberi janji, namun
telah teruji dan terbukti belasan abad di masa dulu pernah sukses mengatasi
pandemi dan menjadikan negara mampu mensejahterakan seluruh rakyatnya.
@umi_diwanti
Posting Komentar