Keutamaan Menafkahi Keluarga dan Pembagiannya


Hukum Menafkahi Keluarga


Banyak ayat dan hadis yang memerintahkan seorang laki-laki untuk menafkahi keluarganya. Salah satunya dalam surah Al-Baqoroh ayat 233 Allah swt berfirman, “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.”

Rasulullah saw pun membolehkan seorang istri mengambil harta suaminya tanpa sepengetahuan suaminya untuk memenuhi kebutuhannya dan anaknya jika suami tersebut terkategori pelit (Bukhari 5364). Yakni memiliki harta tapi enggan memberikannya. Ini artinya nafkah suami kepada anak dan istrinya adalah wajib.

Keutamaan Menafkahi Keluarga


Rasulullah saw bersabda, “Di antara satu dinar yang kau berikan untuk sabilillah, satu dinar yang kau berikan untuk budak, satu dinar yang kau sedekahkan untuk orang miskin dan satu dinar yang kau nafkahkan untu keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah satu dinar yang kau nafkahkan untk keluargamu.” (HR. Muslim dalam Shahih Muslim, 995)

Bersedekah di jalan Allah yang pahalanya luar biasa ternyata masih lebih mulia menafkahi keluarga, maka jelas sebuah kesalahan jika seorang laki-laki lebih mengutamakan sedekah pada orang lain sementara orang-orang yang dalam tanggungannya hidup dalam kekurangan.

Maka menafkahi keluarga tak hanya wajib tapi juga merupakakn prioritasar utama dan sebuah kemuliaan. Rasulullah sangat mencintai lelaki yang mau bekerja keras demi menafkahi keluarga. Sehingga sudah seharusnya seorang laki-laki mengeluarkan seluruh potensinya untuk berusaha mendapatkan penghasilan halal untuk keluarganya.

Dalam kehidupan kapitalis di mana hukum rimba di dunia kerja itu menjadi fakta. Jelas mencari nafkah bukan perkara mudah, apalagi di masa pandemi seperti sekarang, upaya mencari nafkah para suami diuji lebih berat lagi. Namun sekali lagi, pahala di baliknya tentu semakin luar biasa. Semoga para suami menyadari dan semakin semangat dari hari ke hari.

Siapa Saja Penanggung Nafkah Keluarga


 Adapun jika suami memang tidak mampu karena uzur syari semisal lemah fisik atau mental sehingga tidak mampu memenuhi nafkah maka tidak ada dosa baginya. Dalam Islam kewajiban itu berpindah kepada wali dari pihak suami atau istri, tetangga dan tentu saja negara sebagai penanggung jawab utama.

Sementara untuk istri dan anak-anak tidak ada kewajiban mencari nafkah, jikapun mereka akhirnya bekerja maka itu menjadi pahala jika diniatkan sedekah untuk keluarga. Dengan catatan tak boleh sampai melalaikan kewajibannya.

Pembagian Nafkah pada Anak


Objek utama nafkah adalah anak dan istri, tak sedikit perkara pembagian ini menjadi masalah. Terutama masalah pemberian nafkah pada anak yang kebanyakan keluarga tak hanya memiliki satu anak. Di antara anak seringkali menuntut keadilan dalam urusan ini.

Misalnya anak yang kecil protes saat diberi uang lebih sedikit dari kakaknya atau anak yang besar protes saat diberi uang jajan sama dengan adiknya yang kecil. Atau setiap kita membelikan satu anak keperluannya maka seringkali takut karena takut anak yang lain akan merajuk jika tidak turut dibelikan. Bagaiman seharusnya kita bersikap.

Pertama, memahami konsep adil.

Adil bukan berarti sama dalam nominal. karena tentu akan berbeda kebutuhan anak TK, SD, SMP atau kuliah. Berbeda pula kebutuhan anak laki-laki dan perempuan. Sama-sama SMA pun bisa jadi beda karena kegiatan di kelasnya masing-masing bisa berbeda. Maka orangtua harus benar-benar mengetahui dengan baik kegiatan anak-anaknya.

Kedua, bedakan mana kebutuhan mana keinginan anak.


Orangtua harus pandai membedakan mana kebutuhan dan mana yang sifatnya hanya keinginan anak. Kebutuhan sedapatnya harus diuapayakan, semisal biaya pendidikan, kesehatan dan kebutuhan sandang, pangan sehari-hari. Tak hanya masalah kuantitas tapi juga kualitas.

Sebuah kesalahan jika kita sebagai orangtua mampu mempercantik tampilan rumah dan menumpuk perabot atau perhiasan namun mengaku tak punya uang untuk pendidikan anak. Atau sering belanja pakaian sementara kesehatan anak diabaikan.

Ketiga, selektif dalam pemeuhan keinginan anak.


Untuk pemenuhan keinginan anak boleh dipenuhi jika semua kebutuhan keluarga telah cukup namun tetap harus dieliti dengan seksama segi kemanfaatannya. Namun sebaiknya tidak diberikan begitu saja. biasakan anak berjuang mendapatkan keinginannya misal dengan terlebih dulu melakukan amal solih atau kita berikan saat anak mampu menghindari perbuatan yang buruk.

Bahkan orangtua tidak boleh dengan sengaja mengizinkan anaknya mengeluarkan harta untuk kemaksiatan atau kesia-siaan. Misal untuk mentraktir teman-temannya yang campur baur laki-laki dan perempuan, membeli petasan atau hal lain yang bisa membawa mudharat.

Jika anak kita masih belum baligh maka jelas izin mengeluarkan harta masih di tangan orangtua. Adapun bagi anak yang baligh harus diberikan pemahaman lebih dahulu tentanga pertanggung jawabannya kelak di akhirat terkait pembelanjaan uangnya.

Memberi Hadiah pada Anak


Adapun dalam memberi hadiah upayakan tidak berbeda. Misal satu anak diberikan rumah, maka semua harus diberi juga. Meski sebagian ulama mewajibkan dan sebagian lainnya hanya menjadikan anjuran, namun sebaiknya ini kita upayakan adil. Karena tak sedikit anak bersengketa bermula dari ketidak adilan dalam hal ini.

Dari Nu’man ibn Basyir ra, ia berkata, “Ayahku memberiku hadiah. Kemudian Umarah binta Rawahah berkata, “Aku tidak ridha sampai Rasulullah saw menjadi saksi atas itu.” Ayahku kemudian mendatangi Rasulullah saw seraya berkata, “Aku memberi ankku hadiah di hadapan Umarah binti Rawahah. Dia menyuruhku agar engkau menjadi saksi.” Rasulullah sawa bertanya, “Apakah kau memberi semua anakmu seperti yang kauberikan pada Nu’man?” Ia menjawab, “Tidak.” Rasulullah saw bersabda, “Bertakwalah kepada Allah, dan bersikaplah adil kepada semua anakmu!” Ia pun menarik kembali hadiah itu.” (HR. Muslim)

Waris sesuai Syariat


Sedangkan pemberian waris sudah ada ketentuan pembagiannya dalam syariat. Maka tak perlu diperdebatkan lagi, karena kita harus tunduk dengan ketetapan Allah meski kita tidak mengetahui di mana keutamaannya. Atau belum bisa merasakan di mana kebaikannya.

Selain itu yang perlu diketahui adalah bahwa wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris dan jumlah wasiat tak boleh lebih dari sepertiga jumlah harta.

Demikianlah semoga kita pandai dalam mengelola harta dan adil dalam pembagia nafkah kepada orang-orang dalam tanggungan kita. Sehingga harta yang kita miliki benar-benar menjadi ladang pahala dan dijauhkan dari menjadi sumber masalah bagi kita maupun keturunan kita, di dunia apalagi di akhirat nanti. Naudzubillahi min dzalik.


@umi_diwanti

Posting Komentar

My Instagram

Designed By OddThemes | Distributed By Blogger Templates