Bila Maut Memisahkan Kita dengan Pasangan


Oleh: Umi Diwanti


Ditinggal pergi kekasih hati itu pasti pilu. Jangankan selamanya, ditinggal dinas luar kota beberapa waktu saja bikin nyesek. Apalagi ditinggal ke luar dunia.

Tapi yang namanya jodoh di dunia, pasti suatu hari terpisah jua. Entah kita yang meninggalkan, atau kita yang ditinggalkan.

Pernahkah kita membayangkan perpisahan itu sudah dekat, kebersamaan kita tak lama lagi? Jika saja ada notifikasi penanda bahwa waktu kita bersama suami tak lama lagi. Akankah kita masih bisa membenci setiap kekurangannya? Masihkah kita sempat ngedumel jika ada maunya kita yang tak dilakukannya? Masih beranikah kita cemberut, dan menyia-nyiakan kebersamaan dengannya.

Pada titik ini kita sebagai istri bisa lebih mensyukuri keberadaan suami bagaimanapun keadaannya. Kita bisa lebih menata sikap kita dihadapan pasangan halal yang Allah titipkan hanya sementara saja. Toh sebentar lagi akan diambil oleh Yang Punya.

Hanya saja dalam keseharian, apalagi zaman now, ketika tantangan hidup berlipat jamak kita kaum emak ini sering lupa terhadap rezeki besar yang bernama "suami".

Tekanan ekonomi membuat kita sulit bermanis muka dihadapannya. Lelahnya menjaga buah hati seorang diri membuat kita merasa "melayani suami" itu beban tersendiri. Apalagi jika ada bisikan provokasi di sana sini.

Karenanya, jika mental sudah mulai terpental. Emosi mulai tak terkendali. Ada baiknya kita pergi menyendiri. Entah itu di dalam kamar atau sekalian masuk kamar mandi. Bayangkan jika beberapa saat lagi kita harus memandikan jasad suami kita. Mengingat kematian adalah sebaik-baik nasihat.

Satu hal lagi. Bahwa segala kesedihan yang menyapa saat perpisahan, sejatinya tak akan lebih memilukan daripada hilangnya kesempatan untuk mendapatkan keridhaan suami kita. Sebab Syurga dan Neraka kita ada padanya.

“Ada tiga kelompok yang shalatnya tidak terangkat walau hanya sejengkal di atas kepalanya (tidak diterima oleh Allah). Orang yang mengimami sebuah kaum tetapi kaum itu membencinya, istri yang tidur sementara suaminya sedang marah kepadanya, dan dua saudara yang saling mendiamkan (memutuskan hubungan).” (HR. Ibnu Majah)

Jika sedang tidur saja tanpa ridha suami, resikonya sebesar itu. Bagaimana jika saat kita tidur selamanya atau suami kita yang tak lagi bisa bangun untuk memberikan ridhanya? Ya Robb betapa meruginya kita.

Maka sejatinya, upaya kita menjadi istri yang baik bukanlah untuk suami kita. Hingga membuat kita kecewa saat tiada respon serupa darinya. Tapi kita melakukan itu demi ridha-Nya pada seorang istri yang taat dengan suaminya.

Syurga jaminannya. Wajar jika sebagian besar kita merasakan ketaatan pada pasangan itu susah-suah gampang. Bahkan ada yang merasa berat. Sangat wajar!

Lha wong reward-nya kebahagiaan permanen dalam Jannah. Bukan sabun colek atau kipas angin. Wajar kan jika kita harus berjuang di dalamnya. Bukan untuk siapa-siapa, yang utama adalah untuk kita sendiri.

Untuk memudahkan proses taat perlu ilmu tentunya. Karenanya rajinlah hadiri majelis ilmu. Cari dan seringlah berkumpul dengan para istri solihah atau yang sama-sama berusaha untuk solihah.

InsyaAllah kita akan terhindar dari kompor bledug perusak rasa kita pada suami tercinta. Jangan lupa taqarub pada-Nya. Niscaya sebesar apapun masalah kita, Allah punya pintu keluarnya. []

#serikeluarga
#keluargasamara
#sehidupsesyurga
#mensyukurinakmatdiberipasanganhalal

Posting Komentar

My Instagram

Designed By OddThemes | Distributed By Blogger Templates