(Kilas Balik Sejak Awal Bertemu Belahan Jiwa hingga Terpapar Emosi Jiwa)
Oleh: Umi Diwanti
Semoga renungan ini bisa merefrseh naluri keibuan kita yang selama ini mungkin mulai pudar.
Terkikis oleh sibuknya kerja, masalah keluarga. Atau sengketa antara kita dan Ayah mereka (suami kita).
Hingga cinta pada ananda tak sekuat dulu lagi. Saat pertama kali kita menatap wajah sucinya.
Yuk Bunda kita coba kilas balik ke beberapa tahun silam. Bacanya pelan-pelan geh.
****
Wahai Bunda mari kita ingat-ingat lagi betapa bahagianya saat si Dia menemui orangtua kita. Berjanji setia mendampingi kita. Hingga ijab sah itu membuat kota bungah.
Duh bahagianya. Serasa dunia hanya milik berdua.
Setelah beberapa purnama bersama. Ternyata kita tak lagi suka berdua. Kita mulai merindukan hadirnya buah hati.
Setiap bulan mengharapkan keterlambatan tamu bulanan. Ketika lagi dan lagi sang tamu berkunjung tepat waktu. Terlafaz nada kecewa di kisan dan hati kita. "Yaah belum jadi..."
Hingga suatu hari terlambat sehari, dia hari, tiga hari. Betapa senangnya, tak sabar membeli bahkan sudah siap tespack sejak lama.
Lalu garis dua itu terlihat samar. Hati serasa dipenuhi bunga. Tak puas, kita pun periksa ke bidan. Setelah dinyatakan positif. Masya Allah rasanya tak tergambar bahagianya. Merasa sempurna sebagai wanita.
Lelahnya hamil dan sakitnya melahirkan seolah tak mampu menggeser sedikitpun rasa bahagia dalam dada.
Saat itu, tangisan dan ketawanya bagi kita sama saja. Penyejuk jiwa penerang asa.
Cerewetnya membuat kita bangga.
"Anak Bunda sudah bisa bicara."
"Duh comelnya anak Bunda."
"Lucu, nggemesin, ngangenin."
Melihat wajahnya, apapun polahnya, hilang segala kesusahan jiwa.
Sayang, dunia ini tak hanya tentang Bunda dan Ananda. Seiring usia pernikahan, gelombang rumah tangga adalah sebuah kelumrahan.
Masalah dengan keluarga besar pun kadangkala mengiringi serta. Entah sejak kapan, gelak tawa ananda tak lagi merdu.
Apatah lagi jika Bunda sudah lelah. Kejamnya harga barang membuat Bunda ikut bekerja. Demi sesuap nasi dan secercah gaya hidup mewah.
Rentetan pertanyaanmu tak lagi lucu. Menjelma bak soal ujian yang melelahkan. "Sudah diam! Bunda Capek".
Apalagi saat ayahandamu tak mau tahu urusanmu. Sudahlah uang belanja harus mikir sendiri bagaimana agar semua tercukupi. Kebutuhan rumah yang semakin tak ramah. Bikin hati Bunda gerah dan otak rasanya mau pecah.
Tak disangka Allah berikan amanah tambahan. Adikmu pun lahir. Bahkan tidak satu. Entah sejak kapan ocehanmu, permintaanmu, semakin menyulut emosi Bunda. Apalagi saat nasihat Bunda tak kau turuti. Emosi Bunda kian menjadi.
"Kenapa sih kalian selalu berantakin rumah?"
"Kenapa sih kalian selalu berantem?"
"Bisa gak sih kalian gak bikin kerjaan Bunda bertambah?!"
Sebenarnya Bunda, tahu itu karena akalmu belum sempurna. Tapi kesabaran Bunda lah yang tak lagi sempurna. Akibat banyaknya urusan dunia yang sudah semakin tua.
Pun ilmu Bunda yang jauh dari sempurna. Tersebab tak ada mata pelajarannya di sekolah yang mengajarkan Bunda bagaimana cara meredam emosi. Bagaimana menjadi pendidik generasi Qurani.
Sesaat setelah melampiaskan gejolak jiwa. Pada sosokmu yang lemah tak berdaya. Bunda menyesal, sungguh menyesal. Sadarlah diri ini telah menjadi pendosa. Telah salah memperlakukan amanah.
Menangis, bersimpuh, memohon ampun. Tapi sayang, saat tiba kau buat ulah kembali. Emosi pun kembali sigap merasuki. Tanpa sadar kata kasar kembali menyambar bak petir menggelegar.
Sedang kamu Nak, hanya wajah ketakutan penuh air mata. Kau bersimpuh. Tertelungkup di kasur hingga tertidur.
Astaghfirullahal azhim... Ya Robb yang Maha Pengampun dan Maha Pemberi Petunjuk.
Ampuni dosa-dosa kami dan tunjuki fitrah keibuan kami agar tetap mendominasi relung hati dan pikiran kami. Hingga hanya kelembutanlah yang tersemburat di setiap lisan dan sikap kami.
Membersamai amanah yang kau titipkan. Hingga kelak mereka pun menjadi manusia-manusia lembut penebar kasih sayang.
Ya Mujiib, hamba berserah diri pada-Mu atas segala kelemahan diri. Hasbunallah wani'mal wakiil ni'mal maula wani'mannasiir...
****
Selepas renungan ini, silakan Bunda bayangkan satu persatu bola mata ananda yang suci. Lalu pertegas kembali apa yang Bunda cita-citakan pada mereka.
Ambil secarik kertas. Buatlah tulisan indah untuk mereka. Sampaikan suara hati Bunda bahwa, apapun yang Bunda lakukan adalah untuk kebaikan mereka.
Sampaikan permohonan maaf. Jika saking sayangnya kita, saking inginnya menjadikan mereka baik, kadang ada sikap kita yang kurang berkenan ke mereka.
Semoga ananda bisa memahami dan berkenan memaafkan segala kealfaan kita. Lalu Allah satukan hati kita. Untuk terus bersama. Dalam cinta-Nya.
With Love 💕
Salam untuk semua Bunda (yang berusaha) Hebat
#seriparenting
#menjadibundahebat
Posting Komentar