Home Keluarga Samara Bahaya Membiarkan 'Tulang' yang Tertukar
Bahaya Membiarkan 'Tulang' yang Tertukar
By Umi Diwanti At Januari 19, 2020 0
Oleh: Umi Diwanti
Salah urat aja sakit, apalagi salah tulang. Sesuatu yang tidak pada tempatnya pasti tidak beres. Demikian juga dalam sebuah rumah tangga, jika fungsi suami dan istri tertukar pasti menimbulkan masalah.
“Ga juga tuh. Yang penting sama-sama ngerti dan saling ridho.”
Betul, jika masalah dan tidaknya hanya dinilai oleh manusia. Sayangnya amaliah berumah tangga adalah bagian yang harus kita pertanggunjawabkan di hadapan Allah, kelak. Karenanya tak ada pilihan lain kecuali dijalankan sesuai kehendak-Nya.
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (TQS. Al-Ahzab: 36)
Dalam hal ini Allah Swt melalui Rasul-Nya telah menetapkan amanah khas pada laki-laki dan perempuan. Laki-laki diwajibkan atas nafkah dan perempuan diwajibkan atas hadonah anak dan pelayanan suami.
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.” (TQS. Al-Baqarah: 233)
“Demi Allah, yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang wanita tidak akan bisa menunaikan hak Allah sebelum ia menunaikan hak suaminya. Andaikan suami meminta dirinya padahal ia sedang berada di atas punggung unta, maka ia (isteri) tetap tidak boleh menolak.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad dan Ibnu Hiban)
Bahaya pertama adalah, kedua belah pihak sama-sama mendulang dosa. Padahal tujuan berumah tangga adalah menyempurmakan agama. Menambah ladang pahala. Tapi semua tak akan terjadi karena, pembiaran terhadap ‘tulang’ yang tertukar tentu saja menyebabkan kedua belah saling melalaikan kewajibannya.
Suami berdosa karena melalaikan kewajiban nafkah. Istri berdosa jika tidak ada upaya meluruskan. Apalagi jika karena itu istri jadi tinggi hati. Tak bisa sepenuhnya taat suami. Tanpa sadar kewajiban sebagai ibu pun terbengkalai.
Saling ridha di antara keduanya tidaklah merubah yang salah menjadi benar. Amal baik tak cukup hanya dengan ikhlas tapi juga dengan cara harus benar sesuai syariat. Sebagaimana praktek suap/sogok tetap berdosa meski kedua belah pihak telah bersepakat dan saling ridha.
Kedua, lalainya kita dari ketetapan Allah bisa mendatangkan kesempitan hidup. Karenanya kadang kita temui penghasilan besar tapi mereka tidak berkecukupan. Ada aja yang masalah. Rumah besar terasa sempit. Itu yang dinamakan 'maisyatan donka' dalam surah At-Thaha 124.
ومن أعرض عن ذكري فإن له معيشةً ضنكاً
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit...”
Ketiga, tertukarnya peran dalam rumah tangga, slow but sure, pasti akan membuat hubungan suami istri menjadi tidak harmonis.
Mohon maaf jika saya harus menuliskan ini. Laki-laki itu fitrahnya minta dilayani kebutuhan biologisnya. Makin berumur makin besar kebutuhannya. Sedang perempuan makin berumur makin kendur minatnya urusan beginian.
Apalagi kalau sudah capek dan banyak pikiran, pasti berefek tidak bisa maksimal dalam melayani suami. Padahal mau mengakui atau tidak, urusan kasur dalam rumah tangga adalah perkara vital.
Keempat, jika dibiarkan berlarut, urusan kasur ini bisa bikin rumah tangga hancur. Kurangnya iman ditambah liberalisasi media yang menjadikan pornografi dan pornoaksi bebas berseliweran kerap menjerumuskan orang dalam kasus perzinahan.
Bisa dilihat dari kasus perselingkuhan, inses hingga semakin maraknya prostitusi. Jika kita mau menelaah, peningkatan angka kriminal model begini jumlahnya terus meningkat seiring peningkatan pemberdayaan perempuan di ruang publik.
Kelima, sedikit banyak kewajiban sebagai ibu pun pasti terganggu. Meskipun ada ibu yang tetep sukses mendidik anak sambil menjadi tulang punggung keluarga, ini sangat sedikit. Dan seandainya dia fokus sebagai ibu pasti hasilnya akan lebih baik lagi.
Menjadi ibu tidaklah sama dengan menjadi induk. Yang penting anak hidup. Seorang ibu akan ditanya mulai dari apa yang mengisi perut anak hingga apa yang mengisi hati dan pikirannya. Dalam mendidik seorang ibu harus hadir lahir dan bathin.
Jika urusan nafkah dibebankan padanya jelas akan menyita waktu dan pikirannya. Berkurang bahkan hilang kesempatan untuk memeluk anak-anaknya. Saat anak kurang dekapan orangtua mereka akan mencarinya ke luar. Sementara lingkungan luar sangatlah liar.
Anak yang sudah kita perhatikan sedemikian rupa saja, kadang masih bisa kecantol gaul bebas, obat terlarang, balapan liar, tawuran, candu gadget dan perkara negatif lainnya. Apalagi jika sang ibu tidak melakukannya. Bahkan banyak anak yang akhirnya masuk perangkap mucikari. Naudzubillah.
Keenam, selain aset orangtua dunia akhirat, anak juga merupakan aset negara. Bagaimana bangsa di masa depan tergantung bagaimana kualitas anak-anak kita saat ini. Barat sangat memahami ini dan menjadikannya strategi dalam menghancurkan negeri-negeri muslim.
Sehingga kita harus menyadari bahwa di balik fenomena ‘tulang’ yang tertukar ini adalah bagian dari skenario mereka. Dengan merusak tatanan keluarga hari ini maka mereka berhasil menghancurkan masa depan bangsa bangsa ini.
Karenanya selain lapangan kerja ala kapitalis yang memang lebih memilih perempuan sebagai pekerja. Di sisi lain mereka juga berusaha meracuni pemikiran kaum perempuan dengan ide kesetaraan gender.
Mereka opinikan bahwa perempuan tidak akan mendapat kemuliaan kecuali dengan menduduki jabatan dan pekerjaan sebagaimana laki-laki. Harus punya duit sendiri kalau mau dihargai suami dan orang lain.
Minimnya pemahaman agama dan realita kehidupan hari ini membuat kita mudah menerima penyesatan pikir tersebut. Akhirnya sebagian istri yang tidak kepepet ekonomi pun memilih bekerja.
Hingga sebagian mereka lebih menikmati perannya sebagai pekerja daripada sebagai istri dan ibu generasi. Padahal sekali lagi, ini adalah bagian dari strategi penghancuran generasi. Pantang kita ikuti. Allah pun telah mewanti-wanti.
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 120)
Dengan mengetahui betapa besarnya bahaya pembiaran 'tulang' yang tertukar ini. Semoga ada usaha keras untuk menormalisasi dari kedua belah pihak. Mungkin tidak mudah tapi pastinya tidak mustahil.
Sebagai catatan, tulisan ini tidak bermaksud mendeskreditkan ibu yang bekerja. Sebab dalam Islam bekerja bagi perempuan adalah mubah. Tidak akan berubah menjadi haram atau wajib karena keadaan.
Maka bekerja tidak lah masalah dengan catatan tidak melalaikan kewajiban, tidak ada unsur menyenghaja untuk bertukar peran dan bukan dalam rangka merealisasikan ide kesetaraan. Wallahu a’lam.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Posting Komentar