Para emak pasti tahu kalau mau daftarin anak di sekolah tertentu maka harus ikut aturan main yang ada di sekolah tersebut. Mulai dari ikut parenting, wawancara, observasi dan kadang ada tes juga. Demi bisa diterima, apapun dilakukan bukan?
Setelah diterima, keterikatan belum selesai. Justru jadi awal keterikatan yang lebih jauh lagi. Mulai dari jam belajar, seragam, perlengkapan sekolah, termasuk harus ikutan fosis dan bayar infaq yang ditentukan di dalamnya.
Kalau sekolah sudah menetapkan masuk pukul 8 pagi dan pulang pukul 4 petang. Berani gak Emak antarin anaknya masuk sekolah pukul 12 dan pulamg pukul 2 siang? Tanpa uzur.
Berani melanggar, berarti harus siap untuk dicoret dari daftar nama siswa di sekolah tersebut. Intinya kalau ingin anak kita diakui secara deyure dan defacto maka mau gak mau, laksanakan semua aturan yang ditetapkan di sana.
Begitu juga dengan bekerja. Jika mau diterima dan tetap dicatat sebagai karyawan di sebuah perusahaan haruslah mau mengikuti semua aturan yang berlaku. Gak akan diterima apalagi diberi gaji kalau melalaikan.
Maka demikian pula saat kita memilih menjadi seorang muslim. Jika mau diakui dan tercatat sebagai muslim sampai akhir hayat. Tidak mau dikatakan sesat. Haruslah terikat pada syariat Allah dan Rasul-Nya.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Al-Ahzab: 36)
Dengan keterikatan yang totalitas. Tak boleh hanya sebagian dan ingkar pada sebagian lainnya. Azabnya berat. Kita gak akan kuat. Biar syetan saja. Jangan kita ikut-ikutan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu."
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ ۚ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ. ذَٰلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰ أَشَدِّ الْعَذَابِ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
"... Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat." (Al-Baqarah: 85)
Sayangnya bermodal mau saja tak cukup untuk bisa ber-Islam secara kaffah. Banyak perkara yang tak bisa dilakukan seorang diri bahkan berkelompok. Hanya bisa dilakukan oleh penguasa.
Misalnya saja kewajiban penjaminan kebutuhan dasar rakyat. Baik kolektif seperti pendidikan, pendidikan dan kesehatan ataupun yang perseorangan seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan. Semua itu perlu peran negara.
Juga dalam penerapan sanksi. Setelah fungsi negara sebagai penjamin kebutuhan rakyat berjalan. Lalu ada yang masih mencuri tentu sanksi potong tangan harys dijalankan.
Demikian pula saat menikah dipermudah lalu ada yang berzinah maka hukum dera dan razam pun harus ditunaikan. Sebagai penebus dosa dan pembuat jera.
Dan semua itu hanya sah dilakukan oleh penguasa yang 'utiullaha wautiurrasul'. Jika penguasa yang demikian belum ada maka tugas kitalah untuk mengadakannya. Jika tidak maka kita akan berdosa atas ketidak sempurnaan Islam kita.
Dengan kata lain, hanya dengan ikut andil mengembalikan kehidupan Islam kita bisa berhujah di hadapan Allah, atas belum sempurnanya ketaatan kita.
Sebaliknya, jika kita enggan apalagi sampai ikut andil dalam pencegahan penerapan Islam. Maka apa yang bisa menjamin kelak di yaumil akhir kita masih diakui Allah sebagai umat-Nya? Naudzubillah.
Satu hal lagi, selain konsekuensi keimanan yang menentukan nasib kita di akhirat. Penerapan Islam kaffah juga merupakan sumber keberkahan di dunia, sebagaimana firman Allah Swt.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. Al-A’raf: 96)
Sebaliknya, berpaling dari penerapan Islam juga akan menjadi sumber kesempitan hidup di dunia.
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ
"Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". (at-Thaha: 124).
Karenanya sadarilah jika kita telah memilih Islam, taknada pilihan kecuali berjuang menyempurnakan ketaatan. Amalkan semua yang sudah bisa diamalkan. Lalu ikutlah andil dalam perjuangan menegakan kembali aturan Islam secara keseluruhan.
Meski tidak mudah dan kerap ditaburi fitnah. Teruslah berjuang! Sebab inilah jalan kemuliaan yang diwariskan para anbiya. Allahu Akbar! ✊
@umi_diwanti
Posting Komentar