Home Rumah Tangga Bisikan Penghancur
Bisikan Penghancur
By Umi Diwanti At Mei 20, 2019 2
Bagai petir dipanas terik. Sama sekali tak kusangka, perkara yang sudah belasan tahun itu ternyata penyebabnya.
Dalam gemuruh berontak hati, kupaksakan ingatan ini kembali ke masa itu. Mengingat-ingat rangkaian peristiwa kejadian itu. Semakin menguat ingatanku, semakin aku merasa tak bersalah.
Jikapun memang aku yang salah, bukankah aku sudah merendahkan diriku dengan meminta maaf atas apa yang tidak kulakukan. Harusnya sekarang akulah yang mendendam.
Nasihat sang ustadz agar aku harus menjadi pendengar setia. Kali ini aku tak sanggup. Hujatan tak beralasan itu harus kulawan. Semakin aku diam semakin aku terpojokkan. Dan semakin semena-mena aku diperlakukan.
"Cukuuup! Aku sudah tidak tahan, biarkan aku pergi dari rumah ini."
Kali ini aku benar-benar diluar kontrol. Lengkingan suaraku, sontak membuat anak-anakku berlarian ke kamar kami.
"Umii, Umi kenapa? Ada apa Umi?" Suara si sulung mewakili keingintahuan adik-adiknya.
Astagfirullah, ternyata kegegabahanku hampir saja membuat anak-anakku merasakan ada badai besar dalam rumah kami.
Sambil menyeka mata berharap rona kesedihan bisa menghilang secepat kerlipan mata. Aku tak ingin tumbuh kembang anak-anakku ternodai dengan badai rumah tangga orangtuanya. Biar aku sendiri yang menanggungnya.
Kuhampiri mereka seolah tidak terjadi apapun. "Umi baik-baik saja sayang. Yuk kita tidur di kamar. Umi temani yuk."
Kurangkul si Sulung dan si Tengah menuju kamarnya. Seperti biasa mereka minta aku membaca buku cerita. Untuk sementara kecamuk hati teralihkan pada Kisah perjuangan Nabi yamg kubacakan untuk anak-anak.
Seketika saat anak-anak terlelap, pikiranku pun kembali berkecamuk. Segera beranjak dari kasur anak-anak. Kukecup kening mereka satu per satu. Lekas-lekas kuseka air mataku. Jangan sampai jatuh diwajah mereka. Dalam hati ku katakan pada mereka.
"Semoga kalian menjadi orang solih yang tangguh meski ibumu ini hanya seorang yang rapuh".
Malam ini adalah penantian paling panjang bagiku. Menunggu pergantian menit serasa menunggu pergantian abad. Tanganku berkeringat dingin. Entah apa yang kurasa. Masa lalu yang begitu indah.
***
Deringan telpon yang selalu membuat pipiku memerah, hari itu tidak sedang ingin berbicara denganku. Dari kejauhan ia meminta disambungkan pada ayahku. Setelah kuberikan gagang telpon pada ayah. Dari kejauhan kulihat ayah beberapa kali mengangguk.
Tepat dihari lahirku 11 tahun silam arak-arakan dengan berbagai bawaan yang membahagiakan masih sangat jelas kuingat. Sesosok lelaki bertanggung jawab dan penyayang memintaku dijadikan istrinya.
Hanya 2 minggu jaraknya, akad itupun menghalalkan kami. Sejak itu aku merasa seperti bidadari yang sedang bertemu pangeran. Kehidupan kami sangat membahagiakan.
Hingga suatu ketika, beberapa kali ia pergi ke satu tempat tanpa memberitahuku. Entahlah siapa yang ia temui yang jelas sejak itu dia berubah.
Malam ini keputusanku sudah bulat. Malam ini harus ku akhiri kisah ini. Sambil membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini, tak terasa air mataku semakin deras mengalir. Dadaku seakan menyempit.
"Umiiii, umii. Abii umi ada dimana? Kemana umi bi?"
Pasti esok pagi kalimat itu akan bertubu-tubi menghujani Abinya. Dan aku? Entah akan kemana kaki ini akan melangkah. Yang jelas bukan ke rumah ayah.
***
Bunyi mobilnya terdengar jelas, karena hari sudah larut. Sebelum pintu diketuk, aku lebih dulu membukanya. Benar, tak lama masuklah sesosok lelaki yang dulu teramat kukagumi. Kuberanikan diri menatap wajahnya, mungkin ini untuk terakhir kalinya.
Belum sempat aku menatap tepat ke matanya, tanganku ditariknya dengan cepat menuju kamar. Ya Alloh semoga ujian terakhir ini mampu kuhadapi dengan sabar. Tanpa teriakan lagi, jangan sampai anak-anak terbangun.
Kucoba menghipnotis telingaku untuk tuli malam ini. Agar emosiku bisa terkendali. Entah apalagi yang dijadikan masalah malam ini.
Dengan suara agak tinggi "Kenapa umi tidak pernah cerita? Kenapa?"
Ya Alloh sabarkan hamba untuk menghadapinya terakhir kali. Sambil menahan perihnya mata yang sudah kehabisan air mata, kupinta dengan perlahan agar mengecilkan suara.
Bi tolong abi tahan amarah abi untuk kali ini saja. Umi cuma mau ...
Stop, abi menutup mulutku dengan lembut. Kusaksikan seperti tayangan slowmotion. "Umi jangan salah paham! Kali ini abi tidak akan marah." Dengan suara setengah berbisik.
Seperti hujan saat kemarau. Tiba-tiba kalimat lembut yang sudah lama menghilang itu kudengar lagi. Kupastikan lagi suara itu apakah benar keluar dari lisan abi. Kutatap wajahnya dengan penuh keheranan, iya benar. Tidak ada rona kemarahan disana.
"Harusnya umi terus terang."
Ah, ternyata tetap saja, aku lagi yang disalahkan. Buyar lagi harapan yang selalu kupanjatkan sepanjang sujudku. Suatu hari suamiku kembali seperti dulu.
Saat pikiranku kembali berkecamuk. Tiba-tiba tubuhku terasa tenang. Seperti ada kekuatan supranatural yang meredam segala gejolak dan emosi didadaku.
Ternyata aku sedang dipeluk dan dibacakan mantra. Isi mantranya sama percis seperti bisikan pertama kali kami dihalalkan.
"Maafkan suamimu yang tak sempurna ini. Maukah umi membersamai abi hingga ke syurga-Nya?".
Jika dulu aku tanpa ragu mengiyakan. Kali ini aku tak bisa. Aku merasa tidak yakin akan sanggup taat pada seseorang yang selalu dalam kecurigaan.
Lidahku terasa kelu. Apa yang harus aku ucapkan. Keputusanku sudah bulat. Ini demi kebaikan semua. Agar kebersamaan tak lagi mendulang dosa.
"Tolong jangan pernah berpikir meninggalkan abi. Maafkan abi selama ini. Maafkan atas segala sangkaan dan sikap abi akhir-akhir ini."
Abi salah memahami makna kepemimpinan. Saat umi setorkan orang tua umi pergi umrah dari hasil pesangon umi berhenti kerja. Abi merasa kehilangan kepemimpinan.
Kedua kalinya saat umi minta memberhentikan pembantu kita. Teman abi bilang, suami itu ga boleh dikuasai istri. Segala-galanya istri yang atur, keluarga istri lebih diutamakan."
Benar pirasatku, sejak kenal dekat dengan Pak Mardi lah abi berubah.
Tiba-tiba abi meneteskan air mata, pemandangan langka bagiku. Sambil menggengam dan mencium tanganku, abi berucap terbata-bata.
"Terimakasih atas ketulusan umi, menyayangi abi dan ibu bapak."
Itu sudah seharusnya bi. Orang tua abi kan juga orang tua umi.
"Abi baru tau dari ibu selama ini umi bersusah payah menggantikan tugas pembantu supaya jatah gajinya bisa buat tabungan umrah mereka."
E e iya bi, umi minta maaf belum sempat membicarakan ini karena abi selalu pulang larut dan ...
"Iya abi tau, abi yang harusnya minta maaf. Abi sangat ingin membahagiakan ibu bapak sehingga harus lembur tiap malam. Tadi abi ke rumah ibu ternyata ibu bilang umi sudah lebih dulu mendaftarkan mereka umrah. Abi benar-benar sudah salah sangka selama ini"
Ya Alloh terimakasih akhirnya kau jadikan jelas perkara ini. Syukur tiada terkira suamiku sudah kembali seperti dulu lagi.
Abi melangkah ke ruang tamu. Rupanya beliau sudah tau rencana burukku malam ini. Beliau ambil tas bajuku dibalik pintu. Sambil tersenyum setengah mencanda beliau bilang "Kok umi tahu sih, 2 minggu lagi kita akan pergi dan sudah siap-siap begini, sambil menyodorkan tas hitamku."
Malu bercampur kaget. "Memangnya kita mau kemana?
Abi mendekat menghampiri pipiku sembari berbisik "Kita pergi umrah bareng ibu bapak".
Tak tergambarkan lagi bahagianya hari ini. Hari yang dalam bayanganku akan menjadi paling kelam. Seketika menjadi hari paling bahagia atas kehendakNya.
Sejak malam itu, kami saling berjanji untuk membicarakan setiap masalah. Tidak membiarkan ujaran orang dan sedikitpun prasangka mengotori hati kami. Karena sungguh, keduanya adalah bisikan penghancur bahtera rumah tangga.
*** The End ***
=Umi Diwanti=
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Barakallahu...kapan berangkat umrohnya..hmmmm
BalasHapusKapan ya? Soalnya cerpennya sampai situ aja, belum ada sambungannya Umm. Heee
BalasHapus