Peringatan itu seringnya tidak menyenangkan, tapi dia seringkali menyelamatkan.
Ini cerita lama yang tertunda mau dipost. Beberapa waktu lalu saat si sulung datang libura. Kami memyempatkan pulang kampung. Tamban.
Tempat kelahiran saya yang kebetulan saudara Mama dan Abah dominan di sana. Meski Kai dan Nini sudah tifak ada tapi tetap lah ia jadi tujuan mudik kami. Ziarah kubur dam silaturahmi ke keluarga dan kerabat.
Malam tadi pertamakalinya kami menuju perjalanan mudik sore. Otomatis malam baru bisa sampai. Yah karena ketemu jadwal bisanya saya sekeluarga dan ading sekeluarga cuma itu.
Kebetulan lagi jalan yang biasa kami lewati biasanya sedang rusak. Oleh keluarga di kampung kami disarankan lewat jalur lain. Lewat anjir pal.9, biasanya lewat pal.15.
Kebetulan lagi, ini perdana buat suami menyetir ke arah sini. Sementara saya sudah pernah tapi sudah sangat lama. Otomatis lupa. Apalagi sekarang, sudah banyak perubahan.
Dalam mobil ada orangtua saya yang asli orang sana dan dalam belum lama ini beliau pernah ke sana lagi. Jadi otomatis beliau lah yang lebih tahu jalan yang akan dilewati.
Alahmdulillah meski ada hujan, MN berjalan lancar. Hari pun mulai gelap. Beberapa kali sebelumnya mesin mobil mati karena gak kuat naik jembatan. Maklum mobil tua.
Saat sudah jelang di ujung perjalanan. naik jembatan. Abah saya tiba-tiba geger. "Ini di mana? Jembatan apalagi? Harusnya kita ke kiri.
Saya yang sedari awal selalu memperhatikan jalan tak melihat ada jalan ke kiri. Sebelum jembatan, ke kirinya iti hanya seperti jalanan kecil bersabat.
Antara merasa kepanikan Abah sebagai peringatan atau sekedar bertnya saja. Karena sepanjang jalan beliau memang selalu tanya-tanya.
"Ini di mana? Jalannya aspal atau tanah? Jalannya basah atau kering?
Karena beliau memang ada masalah di penglihatan. Tapi kali ini intonasinya beda. Seperti panik.
Kami bergeming dalam bingung, tapi tak merasa ada yang salah. Karena tak ada kalimat langsung perintah untuk stop segera.
Sementara mobil terus melaju menaiki jembatan. Takut gas mesin mati kalau posisi naik gasnya pelan.
Sementara Abah semakin panik, Mama pun ikut gegar, "Jembatan mana ini, kita harusnya belok kiri. Sudah tidak ada jembatan lagi di sini. Selain jembatan yang belum selesai!"
"Abii stoop! Ini jembatan belum selesai!" Teriakku panik sepanik-paniknya karena kami pas berada di tengah jembatan.
Akhirnya suami pun segera mengendurkan gas. Kaki kanannya sigap berpindah. Dari pedal gas ke pedal rem. Amdulillah mobil bisa berhenti sebelum terjun bebas ke jembatan yang ternyata baru separo.
Ya Allah, Alhamduliah masih Kau selamatkan kami.
Andai tak ada kepanikan Abah dan gegarnya Mama yang memberikan peringatan. Entah bagaimana nasib kami malam itu.
Yah meski kadang kita kurang suka, hadirnya orang-orang di sekitar yang menegur kita itu sebenarnya adalah bagian dari cara Allah melindungi kita dari alpa. Cara Allah ingin menyayangi kita.
#renunganumidiwanti
Posting Komentar