Cara Efektif Atasi Kastanisasi Pendidikan


Cara Efektif Atasi Kastanisasi Pendidikan
Oleh: Wati, SPd

Zonasi kembali bikin sensasi. Sejak pertama penerapannya setahun lalu PPDB sistem zonasi ini sudah mengalami beberapa permasalahan. Banyak sekolah yang terancam tak memiliki atau kekurangan siswa. Sebaliknya ada yang kelebihan hingga harus menolak banyak siswa yang mendaftar. "Apabila tidak dibenahi, maka akan ada sekolah yang kekurangan, bahkan tidak ada siswanya." Beber Lulut Widiyanto Putro selaku kepala SMA Negeri 1 Marabahan. (jejakrekam.com, 02/07/18)

Selain pihak sekolah, para orangtua pun mengalami keresahan. Pasalnya anak-anak mereka tak bisa masuk sekolah favorit tersebab letak geografis tempat tinggal. Dan yang membuat para ibu tak terima adalah ketika anaknya harus mendaftar di sekolah yang selama ini dikenal "buangan". Yakni sekolah-sekolah tampungan anak-anak kurang berprestasi yang biasanya cenderung "nakal". Mereka tidak ingin anak-anaknya justru tertulari kebiasaan tak baik di sana.

Namun di sisi lain, justru di situlah salah satu alasan diberlakukannya sistem zonasi. Selain untuk pemerataan pendidikan berkualitas. Sitem zonasi juga ditujukan agar tidak ada pengklasifikasian sekolah di tengah masyarakat. Yang berprestasi kumpul jadi satu di sekolah favorit dan sebaliknya.

Sebagaimana ditegaskan oleh Mendikbud, “Tidak boleh ada favoritisme. Pola pikir 'kastanisasi' dan 'favoritisme' dalam pendidikan semacam itu harus kita ubah. Seleksi dalam zonasi dibolehkan hanya untuk penempatan (placement)". (kompas.com, 05/06/2018)

Apa yang dicanangkan Mendikbud dengan sistem zonasi sebenarnya adalah tujuan mulia. Karena sudah seharusnya kualitas pendidikan itu merata. Dan bisa diakses oleh siapa saja tanpa ada kendala apapun.

Hanya saja, keluhan para orang tua dan pihak sekolah seperti yang saya kutipkan di atas pun tak bisa diabaikan begitu saja. Selain itu, kesiapan para guru yang mengalami perubahan kualitas input siswa juga harus diperhatikan. Berdasar pengamatan dan pengalaman saya dalam mengajar, saya bisa merasakan bahwa penguasaan kelas merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan proses pendidikan.

Bukan bermaksud merendahkan kemampuan guru, tapi rasanya sangat berat jika tiba-tiba guru yang terbiasa lebih banyak mengandalkan intelektual lalu berubah menghadapi anak-anak yang justru lebih memerlukan managemen emosional lebih. Dengan kata lain, guru yang terbiasa menghadapi anak-anak tipe audio tiba-tiba mendapatkan peserta didik yang dominan kinestetik atau sebaliknya. Tentu ini tidak bisa berjalan ideal begitu saja.

Bukannya guru tidak bisa, karena salah satu tuntutan profesi guru itu adalah serba bisa. Tapi pastinya perlu penyesuaian dengan cara dan waktu yang varian antar pengajar satu dengan yang lainnya. Sementara masa transisi ini pendidikan harus terus berjalan. Bisa jadi akibat ini bukan pemerataan kualitas ke arah kebaikan yang terjadi tapi malah rata ke arah sebaliknya.

Sementara sistem evaluasi saat ini mengalami peningkatan standar yang tak terelakan. Sistem HOTS membuat peserta didik dan juga pengajar harus lebih ekstra dalam proses pembelajaran. Karenanya penerapan zonasi dalam penerimaan siswa baru sangat perlu dipertimbangkan kembali.

Zonasi Alami

Sebenarnya kalau dipikir-pikir, siapa sih orang tua yang mau menyekolahkan anaknya jauh-jauh dari tempat tinggalnya, jikalau kualitas sekolah jauh dan dekat sama saja. Baik kualitas pengajaran, fasilitas, maupun lingkungan pergaulannya.

Jika negara ini mampu menyamakan kualitas sekolah, maka otomatis secara alamiah siswa dan para orang tua akan mendaftar di sekolah-sekolah terdekat. Tak harus berdasar lingkup alamat. Karena bisa saja secara administratif masuk zona A, tapi fakta lapangan lebih dekat dengan sekolah di zona B.

Maka harusnya kita memandang dengan persfektif terbalik. Bukan dengan zonasi untuk meraih pemerataan pendidikan tapi justru dengan lebih dulu melakukan pemerataan kualitas. Yakni dengan pengadaan sarana dan prasarana serta SDM fasilitas pendidikan (fasdik) yang mencukupi dan mumpuni.

Sejatinya masalah kualitas pendidikan itu sangat erat kaitannya dengan masalah biaya penyelenggaraan sekolah. Terbukti sekolah-sekolah favorit yang ada sekarang adalah sekolah dengan sarana dan prasarana yang baik. Yang kebanyakan mereka menarik biaya pada orang tua siswa untuk sekolah swasta dan melalui komite sekolah untuk sekolah-sekolah negeri.

Karenanya kualitas sekolah berbeda-beda karena tingkat kemampuan dan kesadaran orang tua dalam ambil peran berkontribusi pendidikan pun berbeda-beda. Maka solusinya adalah dengan mengembalikan fungsi penyelenggaraan pendidikan secara penuh kepada negara. Biaya pendidikan berkualitas itu tidak murah, karenanya Allah Swt dalam syariat Islam tidak membebankannya pada individu atau swasta. Negaralah --dengan segala potensi dan kewenangan yang juga telah digariskan-Nya-- yang akan mampu melakukannya.

Pertama adalah sistem ekonomi dan pengelollan SDA dikelola sesuai Islam. Negeri ini bukan negeri miskin. Hanya saja privatisasi dan swastanisasi SDA yang diilhami sistem sekuler kapitalis yang dianut negeri inilah yang membuat negeri kaya ini berasa miskin. Katakanlah kabupaten Banjar. Dengan SDA utamanya berupa tambang batu bara saja, jika dikelola negara dan hasilnya untuk rakyat. Dijamin semua sekolah bisa memiliki sarana dan prasarana yang lengkap dan baik.

Bahkan bukan hanya fasilitas sekolah tapi juga jalur transportasi dan fasilitas umum di seluruh wilayah hingga pedalaman bisa dipenuhi. Dengan kelengkapan fasilitas umum dan gaji pengajar yang memadai, dijamin para guru pun siap mengabdi dimana saja. Jika sudah begitu, pastilah para orang tua secara alami mendaftarkan anaknya di sekolah-sekolah terdekat. Zonasi akan terjadi secara alami.

Satu hal lagi yang jadi pertimbangan pemilihan sekolah biasanya adalah lingkungan pergaulan. Dengan penerapan sistem Islam, tidak ada yang namanya kebebasan. Semua perbuatan terikat hukum syara.  Semua yang Allah wajibkan akan difasilitasi, yang sunah akan dibantu semaksimalnya. Sedangkan yang dilarang akan ditutup berbagai peluang terjadinya.

Ditambah penanaman aqidah yang baik melalui sistem pendidikan itu sendiri, maka siapapun akan cenderung berprilaku baik. Jikapun ada kekhilafan dari satu dua individu, penerapan sanksi tegas akan membuat jera. Tidak akan sampai menjelma jadi komunitas-komunitas yang mampu mempengaruhi orang lain.

Walhasil, Islam memang senantiasa membawa kebaikan jika diterapkan secara menyeluruh. Sebab ia datang dari Zat Yang Maha Baik. Karenanya bagi siapapun yang menginginkan pemerataan kualitas pendidikan. Maka saatnyalah kita lebih berpihak pada Islam. Agar lebih banyak orang yang turut mengamini penerapannya secara keseluruhan di negeri ini. Niscaya, sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Satu penerpaan Islam akan menyelesaikan berbagai bahkan seluruh masalah kehidupan. Tak terkecuali masalah pendidikan. Insya Allah.

Kalimantan Post, 16/7/2018


Posting Komentar

My Instagram

Designed By OddThemes | Distributed By Blogger Templates