sumber: islamidia.com
Timba mendatangi sumur. Bukan sumur mendatangi timba. Itulah
yang dilakukan para Ilmuan muslim, termasuk Al Farghani. Lahir di Fergana, di
ujung timur Uzbekistan yang kala itu menjadi bagian wilayah Persia. Jauh dari
pusat peradaban Islam. Tak menyurutkan semangatnya untuk menutut ilmu.
Ia tak hanya pergi ke
pusat pembelajaran di Persia, tapi juga ke Baghdad di Irak yang merupakan pusat
peradaban Islam. Ia dikenali sebagai astoronom cerdas yang menemukan banyak pengetahuan
tentanga angkasa luar.
Ada yang tahu apoge
dan perige? Hmm, saya juga baru tahu
setelah baca buku ini. Hee. Apoge adalah titik terjauh lintasan benda angkasa.
Perige adalah titik terdekatnya.
Perhitungan akurat dengan data yang lengkap mengenai apoge
dan perige ini pernah ditemukan olah Al Farghani lho. Padahal belum ada
teropong canggih seperti sekarang. Hebat bukan.
Kecerdasannya inilah yang membuat Khalifah Al Ma’mun dari
dinasti Abbasiyah mengundang Al Farghani ke istana Abbasiya di Baghdad.
Mengajaknya bergabung dalam sebuah lembaga kajian ilmiah istana. Namanya
Lembaga Al Ma’mun.
Al Farghani sangat gembira. Bukan karena tawaran jabatan dan
gaji dari sang Khalifah. Tapi karena di lembaga tersebut dia bisa mendapat
fasilitas lengkap untuk penelitian astronominya. Sebab istana sang khalifah
terkenal memiliki peralatan astronomi tercanggih kala itu.
Benar, Al Farghani mendapat fasilitas super lengkap untuk
mengembangkan penelitian astronominya. Kepercayaan penuh diberikan padanya.
Sebuah proyek besar pun ditugaskan padanya bersama tim Lembaga Al Ma’mun, yakni
menghitung diameter bumi.
Wow, masya Allah! Ternyata peradaban Islam itu keren abis
ya, selalu terdepan.
Kala itu menghitung diameter bumi bukan perkara gampang
seperti sekarang saat peralatan serba canggih. Mereka berhasil menentukan
diameter bumi mencapai 6.500 mill.
Setelah itu Al Farghani penasaran dengan ukuran planet lain
dan melakukan penelitian seorang diri. Dan dia pun berhasil menghitung diameter
planet-planet lain di luar angkasa.
Segala keberhasilan penelitiannya dituangkan dalam sebuah
buku. Satu yang paling masyhur adalah Kitab fi Al Harakat Al Samawiya wa Jawami
Ilm al-Nujum (The Elements of Astronomy atau Unsur-Unsur Astronomi).
Masterpiece (karya terbesar) Al Farghani yang berisi kajian tentang bintang-bintang ini menjadi rujukan para astronom Eropa selama lebih dari 700 tahun sejak buku itu ditulis.
Wah super ya. Dan ternyata Al Farghani ini juga pandai di
bidang tehnik. Sejarah mencatat bahwa beliau pernah menjadi supervisor
pembangunan alat pengukur air bernama Nilometer di Kota Fustat, Mesir.
Beliau juga pernah menjadi pengawas pembangunan Kanal Al Ja’fari
di Kawasan Sungai Tigris. Dengan perthitungannya yang tepat, kanal ini bekerja
efektif di kala air sungai pasang. Alhasil kawasan Tigris tak pernah mengalamai
kebanjiran.
Setalah baca ini,
rasanya semakin yakin kalau peradaban Islam itu adalah yang terdepan. Bayangkan
saja kisah di atas ini terjadi di masa kehidupan Al Farghani , yakni 184-256H (800-870M).
Seribu tahun lebih yang lalu kekhilafahan Islam telah
memiliki pusat penelitian dengan peralatan tercanggih di masanya. Ilmuannya
telah berhasil menghitung diameter bumi dan planet lainnya. Bahkan telah mampu
menciptakan kanal anti banjir.
Wah, kalau sudah tahu begini, masihkah ada yang percaya
kalau ada yang bilang peradaban Islam itu kuno dan kudet?
-Wati Umi Diwanti-
Sumber: Buku 36 Kisah Inspiratif Ilmuan Muslim by. Afriza
Han, Percetakan Cerdas Interaktif.
Posting Komentar