Home Catatan Harian Sebuah Asa Manusia Jelata
Sebuah Asa Manusia Jelata
By Umi Diwanti At September 03, 2018 0
//Sebuah Asa Manusia Jelata//
Silent reader. Itu saya. Boro-boro nyetatus, kadang sekedar komen pun saya enggan. Hanya hati berdecak kagum. "Bagusnya ih tulisan sidin nih. Kok bisa lah? Padahal hanya kejadian sehari-hari kok bisa jadi nyaman dibaca."
Lama-lama saya mulai berani komen dan share beserta sedikit caption. Itupun kadang hanya kutipan dari tulisan yang saya share itu, yang saya anggap menarik.
Pernahkah bercita-cita jadi penulis? Sekedar berharap pun tak berani. "Jangankan menulis, membaca saja saya susah." Mungkin itu kalimat yang tepat kala itu.
Hidup dalam lingkungan yang jauh dari dunia literasi. Di rumah tak pernah ada buku kecuali buku paket wajib. Saat SMP lagi hits tuker biodata di buku diary. Rata-rata teman-teman menulis hobynya membaca.
Bagi saya itu "wow" banget. Hoby yang sangat berkelas. Saya mah hobynya bikin karya hand made. Kalau urusan satu ini, sekali lihat pun kadang saya bisa. Tapi untuk membaca? Wah, berat!
"Penulis itu adalah mereka yang awalnya pembaca!" Adalah salah satu doktrin yang saya terima. Maka, fix! Saya tak mungkin bisa.
Ditambah lagi, entah tahun berapa pernah dapat amanah menulis opini. Hanya bermodal ingin berkontribusi saya pun mau melakoni. Tanpa ilmu setitik pun tentang apa itu opini.
Beberapa hari muter otak untuk menulis, akhirnya selesai juga. Alhamdulillah, tulisan bukan sekedar tidak dimuat tapi dikirim pun tak. Revisi total. Tapi, mau revisi seperti apa? La wong gambaran opini seperti apa saja saya tidak tahu sama sekali. Stop! Akhirnya saya takut nulis.
Lalu kemudian dunia pun berubah. HP android menjamur. Mulailah mengenal facebook. Tapi ya itu, seperti cerita di atas, sekwdar nyetatus pun tidak berani.
Sampai suatu ketika dapat amanah lagi. Kali ini bukan untuk menulis, melainkan jadi penghubung antara penulis dan tim editor.
Kekaguman demi kekaguman bermunculan setiap membaca tulisan teman-teman tim penulis. Apalagi jika tulisan mereka tayang. Hingga suatu hari tim penulis tak satupun mengirimkan tulisan, sementara target tulisan harus dipenuhi.
Apa boleh buat, demi sebuah target saya coba lagi menulis. Karena selama ini sudah sering baca tulisan teman-teman. Kali ini saya tak begitu buta dengan apa itu yang dimaksud opini.
Tulis, kirim ke tim edit. Revisi sesuai masukan, kirim ke media. Alhamdulillah target tulisan terpenuhi. Ya, hanya itu target saya kala itu. Harapan tayang sama sekali tak pernah bermimpi. Karena sadar siapalah diri ini.
Hingga suatu hari dapat kabar dari tim editing bahwa tulisan saya dimuat di salah satu koran lokal. Ya Allah, andai beliau tidak mengirimkan serta foto korannya mungkin saya tidak akan percaya.
Sepanjang hari serasa ada yang beda dalam hati saya. Bibir pun tersungging mesem-mesem sendiri. Dalam hati membatin "rasa mimpi, tulisan saya bisa dimuat. Ah saya lebay, biasa aja kalee." Tapi yang jelas dogma saya pada diri sendiri bahwa "saya gak bisa nulis", sudah terpatahkan.
Hmm, akhir-akhir ini saya baru tahu bahwa hampir semua orang yang tulisannya dimuat media perdana pasti senang tak terkira. Saya pikir saya saja. Dan satu lagi, tayangnya tulisan di media itu bikin ketagihan nulis.
Apakah karena ingin tenar? Bisa jadi. Tapi tidak selalu. Mungkin yang jadi penulislah yang lebih tahu. Bahwa ada kebahagiaan tersendiri saat tulisan tayang. Sebab itu artinya tulisan kita akan lebih luas jangkauan bacanya dibanding hanya post di akun pribadi.
Dan pastinya pembacanya juga bukan komunitas kita saja sebagaimana pembaca akun sosmed kita yang kebanyakan teman sendiri yang memang audah sepemahaman.
Awal-awal saya masih tidak PD menshare tulisan pribadi meski tulisan itu sudah tayang di media cetak. "Kepedean!" Ya, saya takut ada yang bilang begitu nantinya.
Tapi setelah lama saya pikir. Bukankah menulis memang untuk dibaca orang? Biar apa yang kita pahami bisa dipahami orang lain. Akhirnya sayapun memeberanikan diri. Share, share, share. Terserah apa kata orang.
"Belum jadi penulis kalau belum punya buku sendiri." Sontak kalimat itu membuat saya terperangah. Benarkah? Ya, katanya sebanyak apapun tulisan tayang di media belum bisa dikatakan penulis, jika belum nerbitin buku.
Saya pun akhirnya berupaya mencari-cari cara bagaimana caranya bisa bikin buku. Setiap sayembara naskah dengan iming-iming dimuat dalam sebuah buku pun rajin saya ikuti.
Beberapa naskah saya terpilih. Senengnya luar biasa. Ehm, ehm, bentar lagi nama saya ada dalam sebuah buku. Hari demi hari berlalu, harapan tinggal harapan. Berbagai alasan dari pembuat even membuat saya hanya bisa pasrah. Lupakan! Mungkin itu yang terbaik.
Akhirnya saya pun mulai mberanikan diri ingin mencetak sendiri. Saat ada tawaran bayar sekian nanti akan dibimbing nulis buku hingga cetak, saya pun langsung minta izin Pak Su. Alhamdulillah diizinkan.
Jadikah bukunya? Hmm, saya pilih untuk mundur meski sudah invest lumayan besar. Apa sebab? Karena ternyata yang dimaksud itu adalah tulisan apa saja yang bisa saya tulis. Tidak jelas itu buku apa, yang penting jadi buku.
Saya pikir, jika cuma begitu, saya print sendiri lalu saya jilid sendiri juga bisa. Saya tidak ingin buku saya tidak jelas kemanfaatannya buat pembaca.
"Betapa sulitnya jadi penulis." Kembali bergelayut di pikiran saya. Hingga akhirnya berbagai ilmu dari para guru saya di komunitas nulis menyadarkan saya. Bahwa buku itu bukan tujuan.
Yang terpenting bagi penulis adalah bagaimana meningkatkan kualitas diri dalam menulis. Nanti juga dengan sendirinya akan bisa nerbitin buku. Tentunya bukan buku asal-asalan. Tapi benar-benar buku yang akan mengharumkan dunia literasi.
Dan satu hal yang membuat saya tersentak. Jika buku kita asal-asalan. Lalu seseorang yang membaca buku kita berkesimpulan bahwa rata-rata buku itu seperti itu. Lalu mereka jadi malas membaca. Apakah kita tidak merasa bersalah? Jangan sampai karya kita mencoreng dunia literasi itu sendiri.
Semenjak itu, obsesi saya menulis buku bisa lebih terkendali. "Saya harus tingkatkan dulu kemampuan menulis saya." Dan lubisnya para cikgu kami di komunitas #revowriter semuanya senang berbagi ilmu.
Sedikit demi sedikit saya berusaha mereguk ilmu yang sangat berkhasiat. Meski kadang berasa sepet-sepet, dengan berbagai PR-nya. Heee. Saya yakin dengan itulah, suatu hari saya akan bisa mempersembahkan yang terbaik untuk dunia literasi.
Insya Allh dalam waktu dekat, ada sebuah buku yang akan saya persembahkan, duet bareng salah seorang sahabat. Mohon doanya semoga maksimal akhir tahun sudah bisa naik cetak.
Meski kami berdua sadar banyaknya pernak pernik kesibukan yang pastinya akan jadi tantangan kami. Saya beranikan tulis di sini agar jadi alarm kami.
Juga berharap ada tangan-tangan tulus yang menadah pada Sang Pemilik langit, agar proyek kami dimudahkan. Hingga akhirnya asa seorang manusia jelata ini bisa menjadi nyata. 😍
#PR03 #NgajiLiterasi #RomantikadanAsa021
-Wati Umi Diwanti-
Mtp, 03.09.2018
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Posting Komentar