Home Artikel Atasi Drurat Perceraian Perlu Peran Negara
Atasi Drurat Perceraian Perlu Peran Negara
By Umi Diwanti At September 08, 2018 0
Nemu tulisan lama di Om Mark, Belum ada ilmunya, jadi tulisannya gendut bingit 😁
//Atasi Darurat Perceraian Perlu Peran Negara//
Tak banyak orang menyadari, tingkat perceraian di Tanah Air merupakan salah satu yang tertinggi sedunia. Anwar Saadi, selaku Kasubdit Kepenghuluan Direktorat Urais dan Binsyar Kementerian Agama membenarkan peningkatan tren perpisahan suami istri di negara ini. Berdasarkan data yang diperoleh sejak tahun 2009-2016, terlihat kenaikan angka perceraian mencapai 16 hingga 20 persen (https://www.merdeka.com/khas/indonesia-darurat-perceraian-tren-perceraian-meningkat-1.html). Bagi warga banua harusnya sangat prihatin karena Kabupaten Banjar yang dikenali sebagai kota religius pun menjadi salah satu daerah dengan angka perceraian tinggi di Kalimantan Selatan. Angka perceraian yang perkaranya masuk di Pengadilan Agama Martapura setiap tahunnya di atas 900 kasus. (http://www.abdipersadafm.com/2016/02/21/tingginya-kasus-perceraian-di-kabupaten-banjar).
Padahal rumah tangga adalah cikal bakal terbentuknya generasi sebuah bangsa. Bagaimana kualitas seorang manusia diawali dari torehan-torehan alamiah lingkungan keluarga. Menurut seorang Psikolog Agustine Dwiputri, Isu perceraian utama adalah perubahan dan kehilangan. Anak tidak suka kedua hal ini karena menakutkan. Kepercayaan diri mereka, rasa percaya bahwa apa yang mereka inginkan selalu akan ada, telah terganggu. Sebuah hantaman telah membuka dasar rasa aman mereka. Reaksi utama terhadap hilangnya kepercayaan diri mereka adalah dengan menarik diri.(http://internasional.kompas.com/read/2011/06/27/06343591/Dampak.Perceraian.pada.Anak.Balita). Banyak kasus buruk yang terjadi pada anak akibat rapuhnya dan hancurnya institusi kecil yang bernama rumah tangga ini. Padahal mereka merupakan aset negeri ini. Maka rapuhnya keluarga adalah rapuhnya sebuah bangsa.
“Saya kira ini merupakan pekerjaan rumah bersama, tidak hanya bagi Kementerian Sosial (Kemensos), termasuk para religious leader agar ada ketahanan keluarga dan tidak terjadi subordinasi di dalamnya,” ujar Mensos saat menghadiri resepsi 100 pasang pengantin di Ball Room Hotel The Ritz Carlton Kuningan,Jakarta 11 maret 2016. Menurut beliau disharmoni dalam hubungan suami-istri bisa dipicu karena beberapa faktor, salah satunya terkait perbedaan pendapatan (income). Misalnya, seorang istri yang berprofesi guru dan mendapatkan tambahan income, sedangkan income suami berada di bawah sang istri, dan ini menjadi pemicu tingginya angka gugat cerai di banding cerai talaq. Sehingga mesti ada keseimbangan dinamis atau equilibrium dynamic terkait perbedaan pendapatan atau take homepay tersebut,” tandasnya. Berbagai upaya penguatan ekonomi agar warga kurang mampu mendapatkan akses pada berbagai intervensi program perlindungan sosial, seperti KIP, KIS, KKS, PKH, Rastra, serta Rutilahu. Menurutnya program perlindungan pemerintah dengan berbagai intervensi bisa menjadi solusi dari percepatan dan upaya peningkatan kesejahteraan keluarga tidak mampu”. (http://health.liputan6.com/read/2456092/ini-alasan-perceraian-tertinggi-di-indonesia).
Kasubdit Kepenghuluan Kementrian Agama, Anwar Saadi, menyampaikan bahwa 90 persen penggugat adalah perempuan, menandakan para istri di Indonesia berani mengambil sikap jika tak bisa lagi menemukan titik temu untuk memperbaiki rumah tangga. Dan untuk hal tersebut Kementerian Agama tidaklah berpangku tangan. Pemerintah mengklaim sedang menggalakkan program pembekalan pasangan sebelum menikah. Setiap pasangan yang mendaftarkan pernikahan di Kantor Urusan Agama maupun Catatan Sipil akan mendapat modul tentang tips-tips menjaga keharmonisan rumah tangga. Kendati begitu, Anwar mengakui jika program ini dirasa masih kurang efektif karena implementasinya di setiap KUA berbeda-beda. Namun Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin sedang menggodok peraturan terbaru terkait materi pembekalan pra-nikah yang lebih terstandardisasi. (https://www.merdeka.com/khas/indonesia-darurat-perceraian-tren-perceraian-meningkat-1.html).
Sebagaimana yang diungkapkan di atas berbagai pemicu perceraian yang ada seperti ekonomi, orang ketiga, KDRT dan sekedar ketidak cocokan ini dimuluskan dengan sangat minimnya pemahaman agama dan keterikatan seseorang terhadap aturan-aturan agama. Sehingga penanaman pemahaman agama pada tiap pasangan adalah suatu keharusan. Namun tidak lah cukup dengan waktu yang kilat dan dengan cara penyampaian yang seadanya. Dalam Islam hak dan kewajiban suami istri memiliki seperangkat aturan dan menjalankannya merupakan bagian dari konsekuensi keimanan sebagaimana aturan-aturan ibadah lainnya. Tujuan pernikahan tidak lain adalah dalam rangka merealisasikan tujuan diciptakannya naluri seksual pada tiap manusia yaitu untuk melahirkan keturunan dalam rangka memelihara kelestarian jenis manusia. Manusia diperbolehkan bahkan berpahala saat memenuhi kebutuhan naluri seksual tersebut dengan cara menikah. Sehingga pernikahan adalah wadah kerjasama antara laki-laki dan perempuan yang halal dalam rangka menyempurnakan ketaatan pada Pencipta-Nya. Karenanya sejak awal perlu disiapkan pengetahuan tentang hak dan kewajiban masing-masing. Semuanya menjadi ilmu yang wajib dipelajari dan perlu internalisasi dalam sistem pendidikan yang ada, bukan sekedar diberikan saat menjelang pernikahan saja. Dengan demikian para lelaki sangat paham apa saja kewajibannya sebagai suami khusunya terkait kewajiban nafkah dan mendidik anak istri sehingga tidak sekalipun mereka berani bersengaja melalaikan kewajibannya tersebut. Demikian juga disertakan ilmu-ilmu keterampilan yang membuatnya mampu bekerja dalam rangka memenuhi kewajiban nafkah. Adapun para wanita dalam sistem pendidikan yang ada haruslah berisi ilmu dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mereka menjalankan kewajiban-kewajibannya menjadi ibu dan pengatur rumah tangga, sebelum ia memperoleh ilmu-ilmu dunia lainnya. Sehingga ia mampu menjadi wanita cerdas dan berprestasi di dunia publik yang dibolehkan syara tanpa meninggalkan atau melalaikan tugas utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah jika kelak ia menikah.
Ketika rumah tangga dirundung masalah ekonomi, maka harus dilihat terlebih dulu apa permasalahannya. Jika disebabkan kemalasan individu si suami, maka diberikan nasihat-nasihat tentang kemuliaan bekerja untuk mencukupi nafkah keluarga. Sampai-sampai Rosululloh pernah mencium tangan seorang laki-laki yang mengeras dikarenakan kerja kerasnya memenuhi nafkah keluarga. Dan juga beliau mengatakan “Sesungguhnya di antara dosa-dosa ada yang tidak bisa dihapus (ditebus) dengan pahala shalat, sedekah atau haji namun hanya dapat ditebus dengan kesusah-payahan dalam mencari nafkah”. (HR. Ath-Thabrani). Jika sudah dinasehati tetap tanpa sebab melalaikan maka akan ada sanksi yang dijatuhkan karena ini dianggap sebuah pelanggaran. Namun jika masalahnya adalah adalah ketiadaan lapangan kerja maka yang harus dilakukan adalah menyediakan lapangan kerja, jika ketiadaan modal maka yang harus dilakukan adalah pemberian modal usaha tanpa riba, hingga para suami tersebut mampu memenuhi kebutuhan keluarganya. Dengan demikian semua berjalan sesuai fitrah, laki-laki dihidupkan kepemimpinannya dengan memampukannya menjadi penanggung nafka. Bagi para istri pun bisa merasakan ketenangan dengan adanya jaminan kebutuhannya dan anak-anaknya. Ia dapat maksimal mengamalkan ilmunya dalam mendidik anak-anak. Tidak seperti sekarang yang justru menawarkan solusi masalah ekonomi dengan pemberdayaan perempuan. Banyak lapangan usaha yang justru diperuntukan untuk wanita, sehingga disisi lain anak-anak kurang terdidik dengan baik dan kepemimpinan seorang suami tumbang dimata para istri. Apalagi sampai bertukar peran antara suami dan istri, sama sekali ini bukanlah solusi.
Disisi lain sistem pergaulan laki-laki dan perempuan di tempat umum maupun sosial media harus ditata sesuai Islam, yaitu terpisah kecuali pada perkara-perkara yang dibolehkan oleh syariat. Munculnya masalah orang ketiga tidak jarang diawali karena kehidupan yang bercampur baur bebas ala barat yang dianggap modern. Media harus sejalan dengan sistem pendidikan, kearah mana ingin membentuk masyarakat ini, jika tidak maka justru akan menjadi faktor penghambat tujuan pendidikan itu sendiri.
Dengan demikian tatanan kehidupan keluarga yang kokoh akan mampu melahirkan generasi-generasi cemerlang yang akan menorehkan tinta emas dalam peradaban dunia. Tidakkah negeri ini memiliki cita-cita mulia ini? Sebagaiman yang telah Alloh Swt labelkan pada kita. Kalian adalah umat terbaik yang diciptakan untuk manusia, menyeru pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. QS.Ali-Imron:104. Tentunya semua ini tak mampu dilakukan secara individu. Dalam pandangan Islam negaralah yang bertanggungjawab untuk merealisasikan semua itu baik masalah pendidikan, ekonomi, pergaulan hingga masalah pengaturan media. Semunya satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam sistem pemerintahan Islam. Penguasalah yang harus merealisasikan sistem tersebut karena pada hakikatnya ia adalah pelayan ummat yang harus memenuhi segala kebutuhan dan menyelesaikan masalah masyarakatnya. Sebagai mana Nabi saw pernah bersabda: Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka (HR Abu Nu’aim).
Oleh:Wati,SPd
Dimuat: Mata Banua 6 okt 2016
#BanuaBersyariah
#SelamatkanPerempuanDanGenerasiDenganIslamKaaffah
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Posting Komentar