Home Catatan Harian Nyawa Semakin Murah, Siapa Yang Salah?
Nyawa Semakin Murah, Siapa Yang Salah?
By Umi Diwanti At Agustus 27, 2018 2
Nyawa Semakin Murah, Siapa Yang Salah?
Oleh: Wati Umi Diwanti
Berita tentang pembunuhan seolah enggan absen dari pemberitaan. Hampir tiap hari ada kabar nyawa melayang. Motifnya aneka rupa. Mulai dari masalah harta hingga masalah cinta. Sebagaimana yang terjadi di Banjarbaru beberapa waktu lalu. Seorang lelaki membunuh mantan pacarnya hanya karena sang cewek memajang foto bersama kekasih barunya di media sosialnya. Sedangkan sang pria mengaku masih cinta. (m.jpnn.com, 18/4/2018)
Akhir tahun 2017 lalu juga terjadi pembunuhan sadis hanya gara-gara bedak seharga Rp. 110.000,-. Berikutnya, Januari 2018, di Garut seorang pemuda pun tega membunuh seorang ibu paruh baya yang tengah hamil 8 bulan. Hanya karena kesal selalu ditanya kapan nikah oleh korban yang adalah tetangganya sendiri.
Akhir-akhir ini pun sering ada berita orang tua bunuh anaknya. Apalagi kalau yang dibunuh itu bayi, sepertinya tak terhitung lagi jumlahnya. Belum lagi yang aborsi. Betapa semakin murahnya harga sebuah nyawa. Ada apakah gerangan?
Tak bisa dipungkiri kehidupan saat ini semakin berat. Sementara iman kian menipis tergerus nilai liberal yang terus diobral. Agama (Islam) yang seharusnya bisa menjadi benteng pertahanan pertama dan terakhir seolah telah berakhir. Bukan karena agama yang tak lagi sakti. Melainkan agama sudah mulai dijauhi. Hanya ditengok di tempat dan waktu tertentu saja. Itu pun hanya sebatas panduan ibadah ritual dan sebagian kecil muamalah.
Bahkan bagi siapa saja yang bersikeras ingin membawa Islam ke setiap sisi kehidupan, bersiaplah mendapatkan gelar intoleran. Tak jarang berbonus label radikal. Jadilah kebanyakan manusia enggan mendalami agamanya. Apalagi terikat hidup dengannya kecuali alakadarnya saja. Padahal dalam kesempurnaan pelaksanaan Islam lah manusia akan terjaga.
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al A’raf 7 : 179)
Islamphobia mewabahi manusia. Buah sistem kehidupan sekular. Memisahkan agama dari kehidupan. Ayat Alquran terkait puasa dipakai, sedang yang terkait sanksi pembunuhan diabaikan. Padahal ayat perintah puasa dan qisash hanya berselang lima ayat, 178 dan 183 dalam surat Al-Baqarah.
Siapa yang membunuh tanpa hak harusnya dibunuh dengan cara serupa. Kecuali jika keluarga korban memaafkannya. Pembunuh terlepas dari qishash dengan membayar denda 100 ekor unta. Diantaranya harus unta betina yang sedang hamil. Bukan perkara mudah, karena nyawa dalam Islam memang tidak murah.
Sedang saat ini, pembunuh cukup dipenjara seumur hidup atau kurang. Bahkan masih ada kesempatan remisi. Belum lagi jika mereka orang-orang 'berdahi', hukuman bisa kapan saja disudahi. Yang lebih tidak masuk akal lagi, para pembunuh itu makannya dijamin tiga kali sehari. Tak menutup kemungkinan sebagian dananya dari pungutan pajak keluarga korban. Lalu dari mana datangnnya efek jera? Maka wajarlah jika saat ini nyawa begitu murahnya.
Tak perlulah kiranya kita menunggu kejadian buruk ini menimpa keluarga kita dahulu. Baru kita mau menyadari bahwa tak ada yang mampu memelihara jiwa manusia selain Allah Swt dengan segenap aturan yang telah dibuat-Nya. Pilihan ada ditangan kita, apakah mau menerima dan meperjuangkannya atau berdiam diri saja bahkan menolaknya. Suatu masa ada hisab atas setiap pilihan kita.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Iya nih sekarang di kota kita juga mulai sering ya terjadi pembunuhan kayak gini. Aku jadi ngeri kalau baca beritanya.
BalasHapusIya am, makin hari makin ngeri.
Hapus