Kesetaraan Gender Atasi Kekerasan Perempuan?

Kesetaraan Gender Atasi Kekerasan Perempuan?
Oleh: Wati Umi Diwanti

Tahun 2017, kekerasan perempuan Indonesia kondisi mencapai 348.446 kasus. Meningkat pesat dibanding 2016 yang hanya 259.150 kasus. Ketua Komnas Perempuan berpendapat ada tiga faktor penyebabnya. Pertama, budaya masyarakat yang masih merendahkan perempuan. Kedua, lingkungan dengan stigma diskriminatif dari laki-laki kepada perempuan. Ketiga, negara. Yakni terkait sanksi perlakuan diskriminatif dan paradigma aparatur negara yang masih bias gender. Menurut Azria hal ini bisa dihilangkan dengan cara pendekatan secara struktural dan berkelanjutan. (idntimes.com, 7/3/2018)

Untuk itu, nilai kesetaraan gender terus digelorakan. Salah satu yang terbaru adalah diadakannya workshop penerapan kurikulum yang responsif gender di UIN Antasari Banjarmasin, UIN Alauddin Makassar dan UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Hal ini dinilai sangat tepat, karena mereka adalah rujukan masyarakat. Para dosen bisa memberikan nilai kesetaraan gender pada mahasiswa, untuk kemudian mereka menjadi agent of change di tengah masyarakat. (www.uin-antasari.ac.id)

Tak sekedar kesetaraan gender laki-laki dan perempuan, saat ini juga tengah berlangsung upaya meraih kesetaraan oleh kaum transpuan (waria). Mereka ingin diakui secara resmi sebagaimana gender lainnya. Untuk itu Persatuan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Provinsi Kalimantan Selatan membuat security system untuk kaum transpuan tersebut. Yakni upaya perlindungan hukum untuk mengantisipasi tindakan diskriminatif terhadap para transpuan yang ada di Banjarmasin. (banjarmasin.tribunnews.com, 19/7/2018)

Pertanyaannya benarkah kesetaraan gender akan menjadi solusi kekerasan pada perempuan?

Akhir tahun 2016 lalu, angka kesetaraan gender Kalimantan Selatan berada di level 88 persen. Bapak Abdul Haris Makkie yang saat itu menjabat plt. Sekretaris Daerah Kalsel menyatakan bahwa praktek kesetaraan perempuan di Kalsel sudah cukup baik. Beliau mengklaim, ada fenomena peran perempuan mulai mengisi jabatan struktural di berbagai bidang. (cendananews.com, 20/12/2016). Namun, di sisi lain Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Banjarmasin menyatakan adanya peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di tahun 2017 ini. (jejakrekam.com, 5/2/2018)

Fenomena yang juga terjadi di Barat, semakin mengalirnya ide kesetaraan gender tak jua mampu membendung angka kekerasan perempuan. Di negeri Paman Sam misalnya, 65 persen perempuan mengalami pelecehan di jalan. Juga di Canada, 80 persen pelecehan seksual terjadi di dalam rumah (kompas.com, 29/11/2017).

Adapun di Timur, perlakuan sangat buruk pernah menimpa perempuan di masa jahiliyah. Perempuan tak ubahnya hanya sebagai alat pemuas hasrat laki-laki. Bahkan bayi wanita dianggap aib hingga harus dikubur hidup-hidup. Kemudian berangsur membaik dengan kehadiran syariat Islam yang dibawa Rasulullah Saw. Islam memerintahkan anak memuliakan ibunya, bahkan tiga kali lebih dari ayahnya. Syurga pun berada di telapak kaki ibu. Demikian pada para suami, mereka disyariatkan berbuat baik pada istrinya sebagaimana hadis Rasulullah.

“Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik bagi istrinya dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap istriku” (HR At-Thirmidzi no 3895)

Islam juga memberikan kesempatan yang sama pada perempuan untuk menebar kebaikan di ranah publik. Baik bidang politik, sosial, maupun bisnis. Tentunya dengan tidak melalaikan kemuliaan utamanya sebagai seorang ibu pendidik generasi dan manajer suaminya di dalam rumahnya masing-masing. Karena justru di sana lah  peran strategis perempuan untuk sebuah peradaban.

Anak-anak yang terpenuhi pendidikan dan kasih sayangnya di dalam rumah pasti tumbuh menjadi generasi terbaik. Begitu juga seorang suami yang hidupnya dibersamai perempuan sholihah, pasti mampu menjadi pemimpin-pemimpin tangguh dan sholih pula. Sehingga terbukti beberapa perbedaan taklif hukum perempuan dan laki-laki justru saling melengkapi dalam menciptakan generasi terbaik dan memajukan sebuah peradaban.

Apa jadinya jika semua disamaratakan? Misalnya, Islam memberi hak sekaligus kewajiban hadonah pada ibu dan kewajiban nafkah pada ayah. Jika ibu menutut setara, lalu ikut bekerja. Bagaimana dengan anaknya? Sehebat apapun seorang ayah tak akan mampu menyamai posisi ibu, khususnya dalam pemberian ASI dan kepekaan perasaan

Kekerasan perempuan di Timur justru muncul setelah mereka berangsur meninggalkan hukum-hukum Islam itu sendiri. Lelaki yang jauh dari agama (Islam) lah yang berani merendahkan dan melakukan kekerasan pada perempuan. Demikian pula kekerasan seksual kerap terjadi karena sistem pergaulan yang bebas, jauh dari nilai Islam. Aurat dibebaskan bertebaran sementara sanksi yang diberikan sama sekali tidak menjerakan.

Oleh karena itu, sekali lagi, kekerasan perempuan terjadi karena semakin jauhnya manusia dari ajaran Islam. Maka, wacana menghentikan kasus kekerasan perempuan dengan mengadopsi ide kesetaraan gender tak ubahnya seperti ingin memadamkan api dengan bensin. Sia-sia! Bahkan menambah celaka.

Sebagai umat terbaik yang memiliki aturan hidup terbaik. Bahkan pernah memiliki sejarah kehidupan terbaik dalam melindungi perempuan. Sudah selayaknya kita menyeru umat pada penerapan kembali sistem Islam yang sudah terbukti manjur melindungi perempuan bahkan seluruh manusia. Bukan malah turut menyerukan ide yang lahir dari peradaban Barat. Bertentangan dengan syaruiat, juga nihil pembuktian.

"Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas." (Will Durant, Story of Civilization)

_________________________
Dimuat di: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=236094693763042&id=147614862611026

Posting Komentar

My Instagram

Designed By OddThemes | Distributed By Blogger Templates