Enam Teladan Peristiwa Kurban Bagi Perempuan



Enam Teladan Peristiwa Kurban Bagi Perempuan
Oleh: Wati Umi Diwanti


Menyembelih hewan kurban di hari raya Idul Adha dan hari tasyrik sudah menjadi rutinitas tahunan. Makna dibalik pemotongan hewan kurban pun sudah tak asing bagi kaum muslimin. Yakni tentang bagaimana keimanan keluarga Ibrahim yang Allah uji dengan perintah menyembelih anak kesayangan yang puluhan tahun telah dinantikan.

Selain keimanan Ibrahim dan Ismail, ada sosok wanita hebat yang juga layak jadi panutan dibalik peristiwa kurban. Khususnya bagi perempuan. Dialah Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim AS, ibundanya Nabi Ismail AS. Sosok istri dan ibu yang memiliki peran besar dalam ketaatan sebuah keluarga. Berikut beberapa hal yang patut kita teladani dari beliau.

Pertama, sabar. Bayangkan saja, saat baru melahirkan, dengan kondisi fisik yang pastinya para ibu sangat tahu bagaimana rasanya. Oleh suaminya diajak menempuh perjalanan jauh, bukan untuk piknik dan bermalam di hotel mewah. Melainkan menempuh teriknya padang sahara. Ia ikuti dengan penuh kesabaran.

Bagaimana dengan kita? Kadang kesulitan hidup membuat kita kehilangan kesabaran. Bahkan sekedar uang belanja kurang saja bisa menyebabkan kita sulit taat pada suami. Padahal, selagi suami tak memerintahkan pada kemaksiatan, ketaatan pada suami adalah sebuah kewajiban.

Kedua, cerdas komunikasi. Hingga di suatu tempat tak berpenghuni ia ditinggalkan begitu saja. Saat sang suami tak sanggup menjawab pertanyaannya, “kenapa mereka ditinggalkan di sana?” Perempuan cerdas ini langsung memberikan bentuk pertanyaan lain yang lebih mudah dijawab suaminya. “Apakah ini perintah Allah?” Maka diamnya sang suami adalah jawaban yang cukup baginya.

Adakalanya para suami memilih diam daripada bicara, bukan berarti tidak mengerti apa yang diinginkan istri. Mungkin dia tak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Atau sedang ingin menjaga hatinya dan hati kita. Saat itulah kecerdasan kita sebagai istri dalam menjalin komunikasi sedang diuji. Harus pintar-pintar mengolah kata dan membaca kondisi. Insya Allah semua akan ada nilainya di sisi Allah Swt.

Ketiga, taat pada Tuhannya. Saat sang suami berlalu begitu saja, tak ada adegan meronta apalagi mencela. Tak ada tanya kedua setelah tahu bahwa itu perintah Tuhannya. Bahkan yang terberat adalah saat sudah bertahun-tahun ditinggal tanpa kabar berita, tiba-tiba sang suami datang menyapa lalu ingin menyembelih anaknya.

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu.’ …” (TQS. Ash-Shaffat: 102)

Sekali lagi, saat ia tahu itu adalah perintah Allah, tak sedikit pun ia membantah. Bagaimana dengan kita? Adakah kita langsung bisa menerima perintah-perintah Allah untuk kita lalu menjalankannya dengan sukarela?

Peristiwa kurban benar-benar patut harus direnungi mendalam, khususnya dalam menyikapi hukum syara yang Allah tetapkan. Bahwa hakikat kurban adalah ketaatan, menjalankan segala perintah menjauhi segala larangan. Apapun kondisinya.

Keempat, memahami qada dan qadar. Siti Hajar sangat yakin dengan perkara rezeki. Ia yakin Allah menjamin rezekinya dan anaknya. Namun pada wilayah yang ia kuasai, ia tak berdiam diri. Ia berlari bolak balik antara bukit Safa dan Marwah dalam rangka mencari sumber air. Dan Allah pun menampakkan bahwa rezeki itu semata datang dari-Nya, bukan usaha manusia. Ia hadirkan mata air yang dicari itu dari tanah di ujung kaki bayi Ismail.

Sebagai seorang istri dan ibu kita harus memiliki keyakinan kuat terkait masalah rezeki. Bahwa ia semata pemberian Allah. Cukuplah kita dorong suami untuk bekerja halal semampunya dan kita membantu sesuai takaran syariat. Seberapapun yang dibawa suami kita hargai dan sukuri. Niscaya Allah akan menyukupkan.

Kelima, pendidik sejati. Meski ditinggal suami seorang diri, tak sedikitpun ia mengeluhkan tentang suaminya pada anaknya. Hingga sosok Ismail pun menjadi anak yang sangat memuliakan ayahandanya meski telah meninggalkannya semasa kecilnya. Siti Hajar pun mendidiknya menjadi insan taat atas segala perintah Tuhannya.

 “… Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (TQS. Ash-Shaffat: 102)

Salah satu hal penting bagi seorang ibu dalam mendidik anak adalah menjaga kehormatan suami. Bukan hanya di mata orang lain tapi juga di mata anak-anak. Terkadang kekecewaan pada pasangan membuat lisan kita tak terkontrol menyebutkan keburukan suami di hadapan anak-anak. Sadar atau tidak, ini akan mempengaruhi ketaatan anak-anak pada ayahnya. JIka ingin anak-anak taat pada orangtua, maka peliharalah lisan kita dari mengumbar kekurangan pasangan.

Keenam, pendukung utama ketaatan suami dan anak. Jelang peristiwa penyembelihan itu, hati Ayah mana yang tega. Anak kesayangannya yang lama ia rindukan, tiba-tiba harus dikorbankan. Bayangkan jika saat itu Siti Hajar menolak dengan alasan bahwa ia lebih berhak atas Ismail karena telah membesarkannya sendirian. Atau ia menangis iba dihadapan suaminya. Apa jadinya? Sungguh, sikap istri sangat menopang keimanan suami dan anak-anaknya.

Demikianlah beberapa peran luar biasa seorang perempuan yang bisa kita ambil dari peristiwa kurban. Meneladaninya tentu bukan perkara mudah. Perlu ilmu yang senantiasa mengokohkan iman. Perlu lingkungan untuk saling menguatkan dalam ketaatan. Maka datangilah terus majelis ilmu, dekatilah orang-orang solih di sekitar kita. Bersamailah anak-anak dengan teladan ketaatan. Niscaya Allah berkenan menjadikan keluarga kita senantiasa beriman dan taat dalam berbagai ujian dan cobaan. Insya Allah.


Posting Komentar

My Instagram

Designed By OddThemes | Distributed By Blogger Templates