Cemburu itu fitrah. Dan kata orang cemburu itu tanda cinta. Tapi yang pasti siapapun tak suka dibuat cemburu. Dan ternyata bukan hanya kita yang bisa cemburu tapi Allah Swt pun bisa cemburu. Dan kita mungkin teramat sering membuat-Nya cemburu.
إِنَّ اللَّهَ يَغَارُ وَغَيْرَةُ اللَّهِ أَنْ يَأْتِيَ المُؤْمِنُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ
“Sesungguhnya Allah cemburu, dan kecemburuan Allah ketika seorang mu’min melanggar apa yang Allah larang.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Saat kita minta sesuatu ke suami beliau bilang, “nanti dulu ya, sekarang lagi pas-pasan, jika sudah ada lebih nanti dikasih”. Tiba tiba ia kasihkan begitu saja uang miliknya pada teman baiknya. Pasti kita cemburu bukan?
Maka, Allah pun cemburu saat untuk infak kita sangat berhitung sementara untuk kosmetik yang penting muka kinclong. Untuk sedekah di jalan Allah menunggu sisa uang belanja, sedang untuk arisan sisa atau tidak bisa kita sisihkan.
Kita juga pasti cemburu jika suami kita lebih asyik habiskan waktu bersama teman-temannya padahal kita sedang ingin beliau ada di samping kita membersamai buah hati. Sementara kita pun sering lebih asyik menghabiskan waktu untuk perkara mubah dibanding menunaikan seruan-seruan-Nya.
Kita lebih betah berlama-lama membaca chat sosmed dibanding membaca ayat-ayatNya. Lebih konsentrasi memahami bahkan menjiwai cerita film/sinetron dari pada memahami satu per satu syariat yang dibawa oleh Rasul-Nya.
Untuk menuntut ilmu dan dakwah kadang kita enggan menempuh perjalanan jauh. Anak dan urusan rumah pun tak jarang jadi alasan keengganan kita. Tapi untuk yang mubah ternyata semuanya bisa kita buat mudah.
Kadang mudah sekali kita melontarkan alasan untuk menolak amanah dakwah, tapi seperti tak punya alasan untuk menolak amanah kantor. Jika aktivitas dakwah menuntut waktu dan tenaga berhari-hari kadang kita anggap tak manusiawi padahal pekerjaan meminta lebih dari itu kita siap menjalani.
Itu sama halnya kita minta suami membantu kita merawat anak dia bilang ga bisa karena sudah capek kerja tapi ternyata tiap hari dia membantu menjagakan anak tetangga. Setiap yang kita minta tak dipenuhi tapi orang lain selalu ia beri. Masihkah kita bisa percaya bahwa ia mencintai kita?
Begitulah kiranya saat kita lebih banyak melalaikan seruan-Nya apalagi justru melakukan apa yang dilarang-Nya. Akankan Ia mempercayai kita? Bahwa kita mencintai-Nya. Jika tidak, maka dengan apa kita berharap meraih ridho dan Syurga-Nya?
Jika dengan pasangan atau anak kita berusaha tidak membuat mereka cemburu karena takut kehilangan cinta mereka. Tidakkah kita takut kehilangan cinta dan kasih sayang Allah Swt? Padahal tanpa cinta anak dan suami kita masih mungkin untuk bahagia. Sedangkan tanpa cinta-Nya kita pasti celaka!
Dan sungguh salah satu ciri kita kehilangan cinta-Nya adalah saat Ia biarkan kita menikmati hidup dalam lalai. Merasa puas dengan mengejar recehan dunia hingga tak sempat lagi menyiapkan bekal kematian. Padahal sejatinya dunia yang didapat takkan lebih dari apa yang sudah ditetapkanNya untuk kita. Apalagi jika sampai Ia buat kita nikmat dengan maksiyat. Sungguh itulah balasan paling berat.
مَنْ كانت الدنيا هَمَّهُ فَرَّق الله عليه أمرَهُ وجَعَلَ فَقْرَهُ بين عينيه ولم يَأْتِه من الدنيا إلا ما كُتِبَ له، ومن كانت الآخرةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللهُ له أَمْرَهُ وجَعَلَ غِناه في قَلْبِه مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ ، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ ، جَمَعَ اللهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ.
"Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali menurut ketentuan yang telah ditetapkan baginya. Barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allâh akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.” {Imam Ahmad dalam Musnadnya (V/ 183); Ibnu Mâjah (no. 4105); Imam Ibnu Hibbân (no. 72–Mawâriduzh Zham’ân); al-Baihaqi (VII/288)}
Nastagfirullah Ya Allah. Selagi belum terlambat, saatnya menata hidup dalam skala aulawiyat (prioritas). Agar tak salah pilah perlu Ilmu sebagai pencerah. Untuk membedakan mana yang layak kita penuhi, mana yang harus dijauhi.
Mana yang harus didahulukan mana yang bisa dikemudiankan. Praktek langsung dalam kehidupan nyata, saat ini juga! Karena esok belum tentu milik kita.
Oleh Umi Diwanti
Pernah dipublikasikan di: http://telegra.ph/CEMBURU-10-05
Posting Komentar