ZONASI DAN IDEALISME PENDIDIKAN
Oleh: Wati, SPd
(Radar Banjarmasin, Selasa 4/7/2017)
Tidak dipungkiri selama ini siswa-siswa berprestasi terkadang kumpul di satu dua sekolah favorit. Demikian juga yang nilainya rendah pun terkumpul di sekolah-sekolah lain yang tidak menjadi favorit yang biasanya merupakan sekolah-sekolah pinggiran. Walhasil terjadi perbedaan yang sangat signifikan antara sekolah favorit dan bukan favorit.
Selain dikarenakan input yang berbeda, output juga dipengaruhi dari latar belakang para walimurid. Kebanyakan wali murid sekolah favorit sangat sadar pentingnya pendidikan sehingga sangat kooperatif terhadap program sekolah. Baik perhatian maupun masalah pendanaan. Di sisi lain kebanyakan mereka memang orang-orang mampu, sehingga komite sekolah bisa berbuat banyak untuk menunjang sarana dan prasarana sekolah.
Bisa terbayang bukan bagaimana nasib sekolah bukan favorit yang ada di pinggiran apalagi di pedalaman. Sudahlah inputnya adalah siswa yang kemampuan akademiknya pas-pasan ditambah lagi kurang kooperatifnya para wali murid. Dan ini secara tidak langsung mempengaruhi sarana prasarana yang pada akhirnya menjadi penentu kualitas output yang dihasilkan.
Untuk itu hadirlah sistem zonasi jarak pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) SMP tahun ini. Yaitu poin penilaian kelulusan calon peserta didik baru berdasar bobot jarak tempat tinggal dan sekolah. Tanpa melihat wilayah administrasi kecamatan, makin dekat makin tinggi bobotnya dan makin besar peluang diterima di sekolah tersebut. Sedangkan pada PPDB jenjang SMA, diterapkan zonasi kecamatan. Melalui sistem zonasi kecamatan ini, siswa yang berasal dari kecamatan A tak bisa mendaftar ke sekolah di kecamatan B. (prokal.co, 1/6/2017)
Masalahnya, benarkah dengan sistem zonasi ini kualitas pendidikan menjadi merata disetiap sekolah. Ataukah justru akan memunculkan masalah baru yang justru semakin buruk. Yang jelas banyak wali murid yang kebingungan dan kecewa dengan aturan baru ini. Mereka yang alamat tinggalnya kebetulan hanya berdekatan dengan sekolah yang selama ini dikenal negatif sangat takut anak-anak mereka akan tertulari. Bukannya tambah baik malah merusak yang sudah baik.
Belum lagi masalah kesiapan para pendidik. Mereka yang sudah terbiasa mengahadapi peserta didik dengan kemampuan akademik yang bagus dan merata tentunya tidak serta merta mampu menyesuaikan dengan kondisi peserta didik yang kemungkinan besar mendadak heterogen. Demikian sebaliknya, guru yang selama ini telah piawai pada penanganan emosional dituntut kemapanan intelektual tinggi dalam kondisi mendadak tentunya juga tidak mudah. Bukan meragukan kemampuan para guru, mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang selalu siap dalam kondisi apapun. Tapi jika dituntut serta merta meratakan kualitas pendidikan dengan perubahan kondisi siswa yang tiba-tiba tentunya bukan perkara yang adil bagi mereka.
Karenanya alangkah baiknya perubahan sistem PPDB ini dipersiapkan lebih matang dan sosialisasi yang merata. Agar apa yang diharapkan bisa tepat sasaran tanpa menghadirkan efek-efek samping yang tidak diinginkan. Misalnya saja keberadaan fasilitas pendidikan, terlebih dahulu harus dipastikan apakah keberadaannya sudah merata sesuai sebaran usia sekolah.
Selain itu sarana dan prasarana juga harus merata kuantitas dan kualitasnya di tiap sekolah. Dan pemerataan ini sangat erat kaitannya dengan pendanaan. Jika selama ini berbeda antara sekolah di kota dan di desa itu disebabkan peran para wali murid. Maka seyogyanya ini tidak terjadi andai semua pembiayaan sekolah ditanggung penuh oleh negara. Dan yang demikian ini mau tidak mau menuntut pengeluaran lebih dari anggaran belanja negara.
Belum lagi jika bicara tenaga pengajar berkualitas yang juga harus merata. Selama ini jarang ditemui guru-guru berkualitas sedia menetap dan sungguh-sungguh berkarya di sekolah pedalaman. Dan masalah yang sering ditemui adalah akses fasilitas publik dan kesejahteraan yang memang tidak menjanjikan untuk menguatkan para pendidik memilih menetap di tempat-tempat tersebut.
Masalah ini tentunya tidak akan bisa diatasi tanpa melibatkan sistem lainnya. Karena sejatinya tidak satu sistempun yang bisa berjalan sendiri secara mandiri. Jika pendidikan negeri ini ingin diperbaiki maka sistem ekonomi sebagai penyokong dana juga harus direformasi. Karena mustahil berharap pada sistem ekonomi saat ini yang membiarkan sumber daya alam sebagai sumber penghasilan terbesar negara dikuasai oleh swasta dan asing.
Penataan sistem pergaulan dan sistem sanksi hukum juga sangat mempengaruhi proses pendidikan. Semua yang haram harus ditiadakan, bukan sekedar dikelola penjualannya dengan perizinan namun harus dihapus total. Jika ketahuan ada yang melanggar sanksi hukum harus tegas. Maka peserta didik di sekolah manapun terbebas dari cengkraman narkoba dan gaul bebas yang dikhawatirkan para orang tua. Maka dengan sendirinya sistem zonasi akan terjadi secara alami. Karena sejatinya mana ada yang mau sekolah jauh jika yang dekat punya kualitas dan tingkat keamanan yang sama.
Demikian juga media, baik tayangan TV maupun akses internet harus benar-benar difilter. Tidak ada toleransi bagi setiap tulisan, gambar maupun film yang mengandung pelanggaran hukum syariat. Semua harus dikelola dalam rangka pencerdasan umat. Bukan untuk mengejar rating dan pendapatan. Karena masalah pendapatan negara telah didapati dari pos lain yang salah satunya dari pengelolaan sumber daya alam secara mandiri.
Dan ini hanya dapat dilakukan jika negara ini mau memalingkan kiblatnya dari kapitalis yang menjadikan materi sebagai satu-satunya tujuan. Beralih pada pengharapan pada ridha Sang Pencipta, dimana terkadang memang tidak serta merta menghasilkan materi. Namun semua akan berbuah pada keteraturan hidup dan kerterjaminan hak-hak setiap makhluk di muka bumi ini. Bukan hanya masalah pendidikan namun semua masalah akan terselesaikan jika hukum Tuhan yang dijadikan rujukan. Allohu 'alam. [WuD]
#IslamRahmatanLilalamin
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Posting Komentar