Radar Banjarmasin, 24/03/2018
Utang, Strategi Penjajahan Gaya Baru
Oleh: Wati Umi Diwanti*
Kalau negara Barat berusaha mempertahankan daerah jajahannya dengan cara lama (perang fisik), dapat dipastikan bakal terjadi pemberontakan bersenjata, dan Barat pasti kalah. Maka satu-satunya strategi yang mungkin berhasil adalah dengan cara damai. Memberikan kemerdekaan yang terhormat kepada 700 juta jiwa manusia yang berada di bawah kekuasaan penjajahan Barat. Ungakap John Foster Dulles, Mentri Luar Negeri AS dalam bukunya Perang atau Damai.
Lalu AS mengadopsi taktik baru untuk mengembangkan neo imperialiseme (penjajahan gaya baru). Mulai dengan mengikat negara-negara yang dimerdekakan dengan berbagai utang dan bantuan. AS sangat gelisah dan resah bila negara yang diberinya kemerdekaan menolak utang. Maka AS membuat berbagai kesulitan dan kegoncangan hingga ia tunduk dan dengan terpaksa mengambil utang kepada AS. Atau lembaga-lembaga keuangan internasional yang dikuasainya, seperti IMF dan Word Bank.
Indonesia paska merdeka tahun 1945 menolak mengambil hutang. Lalu dipiculah berbagai bentuk pemberontakan dan kekacauan hingga tunduk pada tahun 1958. Sejak itulah Indonesia diikat oleh AS dengan utang dan bantuan. Diawali dengan membentuk opini publik tentang perencanaan dan pengembangan perekonomian. Hingga warga negara ingin turut mensukseskannya dengan mengambil modal asing. Maka dengan cara ini akhirnya AS dengan mudah mendominasi lalu melakukan eksploitasi kekayaan negeri ini. (Abdurarhman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, penerbit Al Izzah, hal.3-5)
Bagitulah yang terjadi di negeri ini hingga saat ini. Strategi penjajahan yang sangat cerdas, hingga mereka tak perlu lagi kirimkan pasukan untuk merampok sumber daya alam (SDA) negeri ini. Tak perlu melumuri tangan mereka dengan darah. Bahkan kehadiran mereka disambut karpet merah. Dihiasi acara super megah. Tak perduli berbagai kebutuhan rakyat semakin tak terjangkau.
Dalam APBN 2018 anggaran untuk membayar bunga utang sudah mencapai 247,6 Trilliun. Lalu kembali menambah pinjaman hingga saat ini total utang luar negeri mencapai Rp 5.107,14 triliun (www.merdeka.com, 15/03/18). Makin tahun hutang makin menggunung. Wajar jika solusi akhirnya adalah menjual aset negara dan mencabut berbagai subsidi. Tak lupa untuk memperluas sasaran pajak yang merupakan pendapatan utama di APBN negara bebasis kapitalis hasil tutorial kaum imperialis. Masih tak cukup juga, hingga ada wacana memakai dana haji dan menarik zakat bagi ASN.
Apa artinya pembangunan di mana-mana jika rakyat bertambah menderita. Jalanan mulus untuk siapa? Hanya untuk memfasilitasi berbagai bisnis para korporat. Bukan untuk rakyat. Terbukti di kota atau desa-desa yang tidak ada aktivitas bisnis para korporat, jalanan masih saja sempit dan buruk. Begitu juga berbagai fasilitas umum lainnya cenderung lengkap dan berkembang hanya di pusara bisnis para pengusaha yang kebanyakan adalah milik Asing.
Jika penguasa negeri ini masih saja terbius mantra pesimisme yang ditanamkan Asing, bahwa tanpa utang negeri ini tak mampu berkembang. Maka utang akan terus menggunung. Suatu saat akan menggulung eksistensi negeri ini. Hidup hanya numpang di negeri sendiri. Semua fasilitas harus bayar. Dan sudah bisa dirasa saat ini. BBM dan Listrik yang notabene menggunakan SDA milik sendiri dibandrol sangat tinggi. Miris, milik sendiri tapi harus beli. Inilah dampak dominasi utang melilit negeri.
Tak ada pilihan lain jika bangsa ini benar-benar ingin bangkit. Jika benar-benar ingin merdeka dalam mengurusi rakyatnya. Maka pertama kali yang harus dilakukan adalah memerdekakan negeri dari utang. Mengubah pemikiran seluruh anak negeri khususnya para pemegang kekuasaan. Dengan pemikiran baru yang memiliki konsep penyelesaian masalah secara mendasar dan totalitas. Konsep yang sudah terbukti belasan abad lamanya mampu memimpin dunia. Dialah pemikiran dan konsep pengaturan hidup Islam.
Jika selama ini pemikiran dan konsep hidup Islam kaffah ini menuai berbagai fitnah. Harusnya kita tidak membuat kita menjauhinya. Justru itulah bukti nyata bahwa hanya Islamlah yang mempu menghentikan hegemoni mereka. Mengancam eksistensi imperialisasi yang mereka adopsi. Sudah saatnya mengenali siapa kawan siapa lawan. Mana opini menyesatkan mana yang menyelamatkan. Lalu mengambil kebijakan yang benar-benar menguntungkan. Mengambil Islam sebagai asas pengelolaan kehidupan. Baik secara pribadi, bermasyarakat dan berbangsa. Niscaya negeri ini akan benar-benar merdeka dan sejahtera. [ ]
*Alumni FKIP ULM Pendidikan Ekonomi, Revowriter Kalsel
Pengasuh MQ. Khodijah Al-Qubro Martapura
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Posting Komentar