Perempuan Menuntut, Islam Tak Sekedar Menjawab

Kalimantan Post, 14/03/18

Perempuan Menuntut, Islam Tak Sekedar Menjawab
Oleh: Wati Umi Diwanti*

Di peringatan kedua Hari Perempuan internasional di Indonesia kali ini sekitar seribu orang yang menggelar aksi Women's March di Jakarta pada Sabtu (3/3) lalu. Diantara tuntutan itu adalah menghapus kebijakan yang diskriminatif, pengesahan berbagai hukum dan kebijakan, menjamin dan menyediakan akses pemulihan bagi korban kekerasan, serta menghentikan intervensi negara terhadap tubuh. Selain itu, ada pula tuntutan menghapus stigma, diskriminasi, praktik dan budaya kekerasan berbasis gender. Mereka juga mengajak untuk menghapus akar kekerasan berbasis gender. (cnn.indonesia.com, 3/3/18).

Tak bisa dipungkiri bahwa permasalahan perempuan saat ini memang sangat parah. Apapun permasalahan yang terjadi di negeri ini perempuan tak pernah absen mengisi bagian sebagai objek penderita. Mulai dari skala keluarga hingga negara. Wajar jika akhirnya perempuan unjuk suara mengemukakan berbagai tuntutan.

Sebagaimana yang disuarakan wanita Eropa sejak ratusan tahun lalu. Sejak Hari Perempuan pertama kali dirayakan pada tanggal 28 Februari 1909 di New York yang diselenggarakan oleh Partai Sosialis Amerika Serikat. Pada 8 Maret 1917 secara resmi dijadikan sebagai hari libur nasional di Soviet Rusia. 60 tahun kemudian tahun 1977 diakui oleh PBB sebagai Hari Perempuan Internasional. (id.wikipedia.org)

Berbagai tuntutan perempuan itu apapun isinya, intinya perempuan menginginkan adanya pemenuhan hak-haknya. Agar bisa hidup sejahtera, aman, nyaman dan bahagia.

Sebenarnya sejarah kelam perempuan sudah pernah terjadi sebelumnya. Bahkan lebih parah. Kala itu bahkan bayi perempuan yang tak tau salahnya apa, harus dikubur hidup-hidup. Apalagi pada para perempuan dewasanya. Mereka diperlakukan tidak lebih dari barang dagangan.Tak punya hak apapun, yang ada hanya setumpuk kewajiban untuk memuaskan keinginan laki-laki. Bahkan ketika suaminya meninggal ia tak berbeda dari harta warisan yang boleh diperebutkan oleh anak-anaknya sendiri. Sebagai pemuas birahi. Itulah yang terjadi kala itu. Kita mengenalnya dengan sebutan masa Jahiliyah.

Lalu kemudian Allah Swt menurunkan syariat Islam melalui Rasulullah. Secara berkala kesengsaraan perempuan berangsur sirna. Berbagai syariat Islam yang diturunkan secara bertahap, satu demi satu menempatkan perempuan pada posisi paling mulia. Islam mewajibkan seorang anak berbakti pada orangtua, terutama ibunya. Sampai-sampai syurga berada di telapak kaki ibu. Begitupun seorang suami diwajibkan membahagiakan istrinya dengan memenuhi hak-hak istri. Rasul bersabda "Sebaik-baik kalian, (adalah) yang sikapnya paling baik terhadap perempuan-perempuan mereka (sendiri)". (HR. Tirmidzi)

Pemuliaan terhadap perempuan semakin sempurna semenjak hijrahnya Rasulullah ke Madinah. Sebagaimana yang diketahui bahwa hijrah adalah momentum penegakan syariat Islam dalam sebuah sistem kehidupan. 73 orang perwakilan masyarakat Madinah yang melakukan baiat Aqobah II merupakan peristiwa penyerahan kekuasaan oleh masyarakat Madinah ke tangan Rasulullah. Agar Madinah diatur dengan aturan Islam.

Mulai saat itu memuliakan perempuan tak lagi sebatas seruan. Melainkan kewajiban yang mengikat semua orang. Yang melanggarnya akan diberi sanksi oleh Negara. Terkait masalah kesejahteraan, perempuan dijamin nafkahnya oleh walinya. Rasul selaku kepala negara tak membiarkan ada seorang suami yang melalaikan nafkah anak dan istrinya. Beliau pernah mengusir sekelompok laki-laki yang berdzikir di Masjid yang hingga siang hari. Sementara anak istrinya belum tersedia nafkahnya.

Begitu juga Rasul pernah memberikan kapak (pekerjaan) pada seorang lelaki yang meminta-minta padahal tubuhnya masih kuat untuk bekerja. Lagi-lagi ini dalam rangka memenuhi kebutuhan perempuan. Jika wali sang perempuan tidak ada atau lemah kemampuannya. Maka pemenuhan sandang, pangan dan papan perempuan menjadi tanggungan Negara. Tak asing bukan, cerita tentang Umar yang memanggulkan sendiri gandum ke rumah wanita miskin di masa pemerintahannya.

Adapun dalam pendidikan dan kesehatan, Islam juga memberi jaminan yang sama antara lelaki dan perempuan. Rasul menyediakan waktu khusus untuk para perempuan menimba ilmu langsung dari beliau. Apalagi pendidikan secara umum tak pernah dibedakan baik gender maupun status sosial. Semua warga Negara memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan setinggi apapun secara cuma-cuma.

Masalah keamanan dan penjagaan kehormatan tak perlu diragukan lagi. Saat seorang perempuan disingkap jilbabnya di pasar oleh pemuda Bani Qainuqa. Rasul menurunkan pasukan mengepung perkampngan Bani Qainuqa hingga mereka memohon ampun. Begitu pula kisah Al-Muhtasimbillah yang mengirim pasukan besar. Kepalanya sudah tiba di Amuria ujungnya masih di negara Khilafah. Untuk memenuhi panggilan seorang perempuan yang digoda oleh seorang Romawi. Hingga tak ada lagi yang berani mengganggu perempuan sesukanya kala itu.

Begitu juga masalah hak suara. Islam tak sekedar mengakui keberadaan perempuan dan memberi jabatan. Suara perempuan benar-benar diperhitungkan. Sebagaimana seorang wanita biasa mampu merubah kebijakan Sang Umar yang kala itu sebagai khalifah, terkait pembatasan jumlah mahar.

Karenanya sejak Islam diturunkan terlebih sejak diaplikasikan dalam sebuah sistem pemerintahan di Madinah. Lalu disambung oleh pemerintahan Khulufaur Rasyidin dan para khalifah sesudahnya. Dua pertiga dunia di bawah naungan Islam kala itu tak ditemukan aksi perempuan menuntut haknya. Justru ketika kekuasaan Islam diruntuhkan. Lalu seluruh negeri di dunia mulai tertulari pemikiran sekuler.  Pemisahan pemerintahan dari agama (Islam). Maka saat itulah hak-hak wanita terkoyak satu demi satu. Hingga begitu parahnya seperti sekarang ini.

Karenanya jika saat ini perempuan menuntut pemenuhan haknya. Inginkan kehidupan sejahtera, aman, nyaman dan bahagia. Maka Islam tak sekedar punya jawaban. Melainkan memiliki jaminan untuk pemenuhannya. Sebagaimana yang pernah terbukti selama belasan abad di masa silam. Maka saatnyalah perempuan berjuang mengembalikan Islam. Menjadikannya dasar aturan pemeliharaan kehidupan. Niscaya perempuan sebagai sosok mulia dan dimuliakan akan kembali terwujudkan. []

*Pengasuh MQ.Khodijah Al-Qubro, Revowriter Kalsel, Warga Martapura

Posting Komentar

My Instagram

Designed By OddThemes | Distributed By Blogger Templates