PENGUASA BUKAN PELAWAK
Oleh: Wati, SPd
(Radar Banjarmasin, 30/6/2017)
Pencabutan subsidi yang belum sampai finish sudah sukses membuat rakyat meringis, khusunya para ibu. Bahkan banyak dari mereka yang sampai menangis karenanya. Tentu pada penguasa pemegang kebijakanlah mereka berharap. Sayangnya jauh panggang dari api.
Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), Sofyan Basir berseloroh "Mau tarif listrik turun? Cabut meterannya". Ucapnya saat menggelar acara buka puasa bersama dengan awak media di restoran bilangan Jakarta Selatan (Merdeka.com, 16/6/2017).
Meski ditujukan untuk bercanda, dan dilanjutkan dengan tips menekan biaya listrik. Yaitu dengan mencabut semua kabel peralatan elektronik saat tidak digunakan. Namun tetaplah candaan itu terasa sangat memilukan.
Satu hal lagi terkait tips yang diberikan. Dicabutnya subsidi listrik bukan hanya menyangkut tingginya tagihan listrik yang harus dibayar tiap bulan. Jikapun tagihan bulanan menurun, bagaimana dengan kebutuhan lain yang juga meningkat? Karena pasti banyak barang yang juga meningkat seiring naiknya TDL. Khususnya barang yang produksinya berbasis listrik.
Harusnya Murah Bahkan Gratis
Pertama, listrik adalah fasilitas umum, hajat hidup orang banyak. Maka dalam hal ini sudah seharusnya negara menyediakannya dengan semangat pelayanan bukan dagangan. Adanya subsidi terhadap penyelenggaraan listrik sehingga rakyat tidak harus bayar full merupakan kewajaran dan bahkan keharusan. Sehingga tidak dipandang sebagai beban yang memunculkan kesan merugikan.
Jikapun klaim salah sasaran dijadikan alasan. Bahwasanya selama ini subsidi lebih banyak dinikmati oleh warga mampu, haruslah dipastikan ulang. Faktanya yang disebut mampu disini adalah mereka yang tidak terdaftar sebagai warga miskin dalam pendataan BPS. Sebuah rumah tangga akan masuk dalam data miskin jika memenuhi 9 diantara 14 kategori. Kriteria miskin yang sangat rendah. Salah satunya adalah berpenghasilan kurang dari Rp.600.000,-/bulan (keluargaharapan.com).
Padahal mereka yang berpenghasilan bahkan dua kali lipatnya dalam kondisi sekarang tetaplah dalam kondisi serba kekurangan. Artinya klaim subsidi banyak dinikmati oleh warga mampu itu tidak sepenuhnya benar. Yang lebih lucu lagi, salah satu kategori miskin lainnya adalah tidak memiliki meteran listrik sendiri. Bukannya menjadi hal wajar jika akhirnya subsidi tidak sampai pada mereka?
Kedua, dan ini yang utama. Dilihat dari bahan utama produksi listrik yang berupa sumber daya alam (SDA). Sebagai negara kaya SDA harusnya biaya listrik di Indonesia bisa sangat murah bahkan bisa jadi gratis. Karena bahan dasarnya harta milik sendiri, tidak perlu beli, bahkan sisanya masih bisa dijual dalam rangka memperoleh modal dalam proses produksinya dan memberi gaji para karyawannya.
Namun harus diingat, saat ini kita hidup dalam sistem kapitalis. Privatisasi dan swastanisasi menjadi ciri sekaligus keharusan. SDA yang seharusnya menjadi sumber pendapatan besar negara. Yang dengannya semua kebutuhan rakyat dapat disediakan dengan murah bahkan cuma-cuma terpaksa harus dipasang harga. Maka biaya produksipun menjadi tinggi, dan menuntut pemasukan yang tinggi pula agar produksi berkelanjutan. Darimana lagi kalo bukan dari menjualnya kepada rakyat sendiri.
Karenanya harus dipahami bersama penyebab utama mahalnya TDL adalah penerapan sistem kapitalis. Jauh berbeda dengan pandangan Islam. Penguasa adalah pelayan umat. Politik dalam negerinya adalah menjalankan aturan Islam bagi seluruh warganya dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan penjagaan keamanannya. SDA merupakan milik rakyat yang diamanahkan pada negara untuk sekedar mengelola. Hasilnya dimanfaatkan seutuhnya untuk keperluan rakyat. Baik untuk pemenuhan kebutuhan kolektif yaitu pendidikan, kesehatan dan keamanan. Juga untuk pengadaan fasilitas umum seperti halnya listrik.
Penguasa Sejati
Sejatinya penguasa adalah orang yang paling bersungguh-sungguh memikirkan cara mensejahterakan rakyatnya. Dan jika itu ditemukan dalam sistem Islam, mengapa tidak?
Apalagi sebagai muslim maka selain kebutuhan akan solusi, penerapan syariah juga merupakan konsekuensi keimanannya. Penerapan Islam dalam seluruh aspek kehidupan adalah kewajiban bukan pilihan. Dalam hal ini penguasa memiliki kekuatan dan peran lebih untuk merealisasikan. Mengambil sistem Islam sebagai rujukan dan membuang jauh sistem kapitalis yang sudah sangat menyengsarakan.
Ø¥ِÙ†َّÙ…َا الْØ¥ِÙ…َامُ جُÙ†َّØ©ٌ ÙŠُÙ‚َاتَÙ„ُ Ù…ِÙ†ْ ÙˆَرَائِÙ‡ِ ÙˆَÙŠُتَّÙ‚َÙ‰ بِÙ‡ِ
”Sesungguhnya al-Imâm (khalifah) itu adalah perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, dll)
Sebagai rakyat kami perlu penguasa yang hadir memberi solusi saat rakyat menderita. Bukan 'pelawak' yang hanya bisa mebuat candaan yang memilukan. [WuD]
#Turunkan_TDL
#KhilafahAjaranIslam
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Posting Komentar