Mengatasi Masalah Jajanan Berbahaya
Oleh: Wati, SPd
(Radar Banjarmasin 11/3/17)
Baru-baru ini kembali masyarakat dibuat resah, khususnya kalangan ibu-ibu dengan ditemukannya jajanan anak berbentuk dot yang disinyalir mengandung zat adiktif narkoba. Di Banua, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Banjarmasin tidak tinggal diam. Setelah mengumpulkan informasi melakukan pemeriksaan pada dari masyarakat mengenai lokasi-lokasi penjualan permen bubuk berwarna merah dengan merk “keras” tersebut, Rabu (8/3) kemarin melalui tim pemeriksa BPOM Banjarmasin turun ke lapangan untuk mencari sampel permennya. “Hasil uji sementara hari ini (kemarin) hasil kandungan formalinnya negatif. Sementara kandungan zat pewarna berbahaya yang dilarang dan narkobanya besok (hari ini) baru kelihatan” ungkap Bambang Heri Purwanto, Kasi Penyidikan BPOM Banjarmasin. (Koran Radar Banjarmasin, 09/03/17)
Yang disayangkan adalah ini bukan pertama kalinya jajanan anak berbahaya beredar dan meresahkan masyarakat. Sejak dahulu kejadian serupa sering berulang, baik dalam bentuk makanan, minuman ataupun yang lainnya semisal pulpen seperti yang dulu sekali pernah heboh yaitu pulpen wangi mengandung narkoba. Ini baru berbicara narkoba yang jelas-jelas haram dan berbahaya. Sementara masih banyak lagi zat-zat berbahaya lain yang juga tidak aman beredar bebas dipasaran.
Jelas ini merugikan masyarakat khususnya konsumen karena telah menjadi korban benda-benda tidak aman ini, terlebih bagi umat Islam yang mayoritas menjadi warga negara ini. Alloh SWT telah menyeru dalam QS. Al Baqarah (2) : 168. "Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu". Sehingga selain berbahaya maka juga merupakan dosa saat mengkonsumsi atau memanfaatkan benda-benda yang diharamkan. Dan setiap yang diharamkan pastilah didalamnya mengandung mudarat atau kerusakan.
Adapun bagi produsen maka jika benar, merekapun menanggung dosa yang besar karena telah melakukan sesuatu yang dilarang dan dosa karena telah membahayakan orang lain. Namun jika ternyata berita-berita tersebut tidak terbukti kebenarannya maka bisa dibayangkan betapa ini telah menjadi fitnah dan mengakibatkan usaha mereka mengalami kerugian bahkan bisa jadi harus tutup karena sudah tidak adanya lagi kepercayaan konsumen pada produk mereka. Bisa kita bayangkan jika kita berada diposisi produsen atau penjualnya yang sebenarnya hanya karena sulitnya proses perolehan label halal dari MUI dan aman dari BPOM menyebabkan produk mereka rentan ter-sinyalir mengandung zat haram dan berbahaya.
Lalu bagaimana seharusnya mensikapi masalah ini. Dalam Islam masalah ini diatasi melalui tiga pilar. Yang pertama adalah pembentukan ketaqwaan individu. Sejak anak-anak sudah diajarkan bahwa kehidupan ini harus berjalan sesuai aturan Alloh SWT karena kelak akan dihisab setiap apa yang kita lakukan. Termasuk apa yang boleh dimakan dan dimanfaatkan dalam kehidupan. Sebagai individu yang taat maka setiap orang akan sangat selektif dalam memilih apapun terutama masalah makanan. Halal dan toyyib (baik untuk kesehatan) menjadi standar utama memilih makanan bukan sekedar enak atau murah.
Demikian juga sebagai produsen, dengan ketaqwaan individu yang dimiliki maka kehalalan dan keridhoan Alloh sebagai patokan dalam memilih usaha meraih rezeky. Karena dari usaha yang halal sajalah keberkahan dan ridho Alloh akan didapatkan, bukan sekedar keuntungan besar.
Pilar kedua adalah kontrol masyarakat, Islam mewajibkan kepedulian kepada sesame dalam bentuk amar ma’ruf nahi mungkar (menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari keburukan). Sehingga disaat seseorang menemukan ada sesuatu yang tidak sesuai syariat Islam dia tidak akan berdiam diri. Tidak perduli apakah pelaku pelanggaran itu orang lain atau keluarga atau kerabatnya, apakah rekan ataupun rival bisnisnya. Karena hakikat amar ma’ruf dan pengadukan perkara dalam Islam bukanlah untuk kepentingan pribadi atau bisnis atau golongan. Tapi untuk mencapai keridhoan Alloh, mencegah kerusakan termasuk mencegah pelaku dari kubangan dosa yang kelak akan merugikan kehidupan akhiratnya. Karena dorongan inilah masyarakat memiliki kepekaan yang besar terhadap permasalahan apapun yang terjadi ditengah-tengah mereka, baik masalah makanan ini atau perkara lainnya. Karena pada hakikatnya semua perbuatan dan benda terikat dalam hukum syara secara terperinci.
Adapun bagi agama lain yang tidak melarang makanan atau minuman yang diharamkan dalam Islam mereka dibiarkan untuk memproduksi dan mengkonsumsinya namun tidak boleh menjualnya kepada umum. Dan jika ditemukan pelanggaran maka ini juga menjadi perkara yang harus dilaporkan pada pihak berwenang untuk segera ditangani sesegera mungkin sebelum terlanjur tersebar luas.
Adapun dua pilar tersebut tidak akan bisa maksimal tanpa pilar ketiga, yaitu peran besar negara. Pilar pertama, ketaqwaan individu ini tidak bisa terwujud dengan maksimal tanpa adanya peran negara. Bagaimana seharusnya sistem pendidikan yang diberlakukan hanya berasas aqidah Islam sehingga mampu mananamkan dengan kokoh iman dan taqwa pada setiap warga negara. Negara juga yang mampu menjamin setiap masyarakat mampu mengakses pendidikan berkualitas terbaik dengan mudah dan murah. Sehingga dipastikan tidak satupun warga negara yang tidak mengetahui hukum-hukum perbuatan atau benda mana yang haram mana yang halal. Sebab inilah bekal pertama masyarakat dalam berbuat secara individu dan melakukan kontrol terhadap lingkungan sekitarnya.
Demikian pula dengan sistem kontrol makanan dan minuman yang beredar, negaralah yang memiliki kemampuan melakukannya secara merata diseluruh penjuru negeri. Dalam sistem Islam negara memiliki struktur peradilan yang salah satu pelaksananya adalah qhodi (hakim) hisbah yang dibantu kepolisian (syurtoh) yang bertugas ditempat-tempat umum dalam rangka memastikan tidak ada satupun aktivitas seseorang atau kelompok yang bisa merugikan hak-hak orang lain. Dalam hal ini mereka memiliki kewenangan sekaligus berkewajiban dalam mengontrol atau memeriksa apa saja yang akan diakses oleh masyarakat umum. Mereka bertindak melakukan kontrol dan mengadili setiap pelanggaran tanpa harus menunggu syakwa (pengaduan) dari masyarakat.
(Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW suatu saat melewati seonggok makanan yang dijual di pasar. Lalu Rasulullah SAW memasukkan tangannya ke dalam onggokan makanan itu hingga jari beliau menyentuh makanan yang basah. Rasulullah SAW bertanya,”Apa ini wahai penjual makanan?” Penjual makanan menjawab,”Itu kena hujan wahai Rasulullah SAW.” Rasulullah SAW berkata,”Mengapa tak kamu letakkan yang basah itu di atas supaya dapat dilihat orang-orang? Barangsiapa berbuat curang maka ia bukan golongan kami.” (HR Muslim). Disini Rosulolloh berposisi sebagai qhodi hisbah yang sedang mengontrol pasar dan langsung saat itu juga mengadili kasus yang dinilai bisa membahayakan orang banyak tersebut, tanpa ada yang mengadukannya terlebih dahulu.)
Jikapun untuk memutuskan diperlukan uji laboratorium dan lainnya untuk keakuratan hasil, maka negara wajib mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk memiliki teknologi canggih yang bisa secepatnya memberikan hasil pengujian. Apalagi terkait perkara yang sudah berkali-kali terjadi, harusnya ada upaya lebih untuk memenuhi kebutuhan ini. Sehingga produsen atau penjual tidak dirugikan dari lambatnya hasil keputusan yang berefek pada kelangsugan usahanya. Dan konsumenpun tidak terlanjur menjadi korban. Dan dengan berperannya para syurtoh maka setiap produk yang akan dijual bebas cenderung bisa diketahui kelayakannya sebelum terlanjur dilempar ke pasaran.
Disisi lain tidak dipungkiri bahwa selama ini salah satu yang membuat banyak produk tidak resmi (tidak memiliki label halal dan aman) adalah disebabkan birokrasi yang kurang bersahabat khusunya bagi pengusaha kecil. Sehingga negara wajib menerapkan sistem birokrasi yang mudah dan cepat serta murah bahkan gratis. Sehingga jikapun penjual atau produsenlah yang diminta untuk melakukan verifikasi produknya. Maka mereka baik pengusaha besar atau kecil yang minim permodalan tidak terkendala hingga akhirnya membuat mereka nekat menjual produk tanpa jaminan halal dan aman.
Selain itu negara juga harus memastikan lingkungan perekonomian rakyatnya secara keseluruhan apakah sudah kondusif bagi semua warganya khususnya para penanggung nafkah. Apakah mereka telah dengan mudah mendapatkan sumber penghasilan dengan cara-cara halal. Karena dalam kondisi sekarang tidak jarang motif penjualan barang haram atau berbahaya ini distimulasi oleh permasalahan ekonomi yaitu kesulitan memperoleh pekerjaan atau peluang usaha yang halal dan mencukupi.
Jika sudah dilakukan semua tahapan ini masih ada pelaku pelanggaran maka negara harus sudah sewajarnya menerapkan sistem sanksi yang tegas dan adil. Yang mampu memberi efek jera di masa datang dan tentunya sebagai penebus dosa bagi pelakunya. Dalam hal ini hukumannya disesuaikan dengan hukum Islam yang mengikat hukum barang tersebut. Misal dalam hal ini didalamnya mengandung narkoba maka hukuman yang diberlakukan adalah sebagai mana kepada pembuat dan penjual narkoba. Yaitu ta’jir, yakni sesuai hasil istinbat (penggalian hukum) oleh kholifah (kepala negara). Dan berlaku rata bagi siapa saja, tidak seperti hukum sekarang yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas, ke para pembesar dan pemodal besar.
Demikianlah tiga pilar dalam sistem Islam akan mampu secara efektif mencegah beredarnya jajanan yang meresahkan, baik bagi konsumen maupun penjual atau produsen. Wallohu ‘alam bish showwab.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Posting Komentar