Maafkan Aku, Sahabatku

Maafkan Aku, Sahabatku

Oleh: Wati Umi Diwanti


"Peraih nilai UAN tertinggi di Sekolah kita, dia juga para urutan satu nilai tertinggi se Kabupaten. Jatuh ke tangan anak kita ...."

"Res-ti-ya-na" spontan aku sambung kalimat MC di acara pengumuman kelulusan sekolah. Sambil kutatap wajh Resti yang penuh harap. "Aamiin" jawabnya singkat. Ga seperti biasanya.

" ... Galuh Ningrum." Sorak sorai gempita seketika. Semua mata memandang bangga padaku.

"Hah, aku?" Sambil kutunjuk wajahku, lalu kutepuk-tepuk kedua pipiku agak kencang. Kuambil tangan Resti yang sedari awal kami berdampingan. "Apa Pak Fudin salah sebut ya Res? Kan harusnya kamu?"

"Kamu demgar sendiri kan Rum, namamu yang disebut bukan aku. Selamat ya." Dengan suara datar Resti meyakinku sembari memberi pelukan selamat padaku. Lalu dia membuka-buka tasnya, memainkan HPnya, lalu pamit pulang duluan.

"Selmat ya Rum.." "Wah Ningrum emang pinter" "Rum kapan nih kita ditraktir" Dan aneka ucapan lainnya dari teman-temanku. Sambil satu per satu mereka menyalamiku. Juga para guruku.

Sementara mataku masih tertuju pada bayangan Restinyang makin menjauh. Ingin ku kejar, tapi teman-teman dan guruku sedang menyalamiku. Aku bahagia tapi ga bahagia. Ah, entah apa yang kurasa. Mendapatkan dua peristiwa yang tak kuharapkan di waktu bersamaan.

Selama ini aku memang selalu cemburu pada prestasi Resti, sahabatku sejak SD. Akupun pernah berfikir, gimana caranya aku bisa lebih darinya. Tapi aku sadar itu ga akan bisa. Dia cerdas dan baik, semua guru sayang padanya. Bahkan aku sering minta ajari dia.

Hari ini aku memang juara. Tapi Resti berubah. Rasanya sangat ga enak. Resti pasti kecewa karena aku mengalahkannya padahal dia yang banyak mengajariku. Pikiranku berkecamuk. Antara prestasi yang membaik dan persahabatan yang memburuk.

Ku WA, SMS, inbox, semua tak dibalas. Kutelpon langsung diputus. Lama-lama kutelpon lagi nomernya sudah ga aktif. Kuputuskan datangi rumahnya. Alhamdulillah motornya ada di depan rumahnya, berarti Resti ada.

"Assalamualaikum.." Tiga kali kuucapkan salam tak jua ada yang menyahut. Aku ingat, Resti pernah ngasih tahu tentang adab bertamu. Saat dia ikut kajian, katanya ada pembahasan batas panggilan untuk bertamu hanya tiga kali, karena hak memberi izin masuk itu ada pada ahlul bait.

Baiklah Resti, aku pulang, sepertinya kamu tak ingin bertemu denganku lagi. Aku ga nyangka, orang berilmu agama sepertimu bisa mudah memutus ukhuwah hanya karena saingan prestasi.

Tapi.. Resti memang mulai berubah sejak rajin ikut pengajian. Dia ga mau lagi sering-sering jalan.

Di jalan pulang, ada notif WA terdengar. "Hai Rum, kamu di mana? Aku traktir makan sore ini ya. Kamukan juara. Selamat ya. Kutunggu di Bakso Simpang Lima jam.5 teng. Emoticon ngedip sebelah sambil nyembulin amor." Guntur memang romantis dan kocak.

Dulunya dia sangat dekat dengan Resti. Tapi akhir-akhir ini sering ngejar aku. "Hmmm, jangan-jangan Resti marah karna Guntur dekat sama aku sekarang? Ah, tapi kan kata guntur Resti yang ngajakin dia putus. Artinya bukan aku dong yang salah."

***

"Menurut penuturan teman sekolah DT dulu aktif di pengajian sekolah. Ia sempat menjadi pengurus Rohis. Sejak saat itu DT yang sebelumnya suka dugem mulai menarik diri. Lebih menyibukan diri ke pengajian. Hingga akhirnya insiden ini terjadi, ia dikenali sebagai orang baik. Banyak pihak yang tidak menyangka dan sangat menyayangkan." Cuplikan berita di koran yang kubaca saat beli bensin. Judulnya tertulis "Ternyata ini masa lalu pelaku bom..."

"Innalilahi, jangan-jangan Resti...." Kugelengkan kepalaku, secara fakta aku ga bisa terima berita itu. Apalagi mengganggap Resti serupa DT.

"Hai Rum, buruan sini. Aku dah nunggu dari tadi lo." Sergah seorang lelaki ganteng di pojok warung bakso yang tak berdinding depan. Dari jauh, manis wajahnya sungguh membuatku lupa urusan Resti seketika.

"Mau pesan apa, bidadariku?" Sambil tangannya menjauhkan posisi kursi dari meja, agar aku siap duduk di sana. "Makannya terserah kamu saja, tapi aku mau es jeruk. Biar seger, tadi barusan dari rumah Resti."

"Ah, ngapain kamu ke sana. Bukannya kamu bilang kalo dia dah mutusin silah ukhuwah kalian?" Guntur sekarang emang sering keki kalo aku ngomongin tentang Resti. "Malahan ya, kalo menurut aku, meski dia ga jauhin kamu, kamu justru yangnharus jauhin dia." Lanjut Guntur dengan nada serius.

"Lho emang kenapa? Kamu kesal karena diputusin ya?" Tanyaku sembari ngeledek, apa dia sudah bisa move on dari Resti atau belum. "Ah enggaklah, bagusnya kami memang putus. Emang kamu ga tahu apa pura-pura ga tau sih Say?" Guntur mendekatiku, bicaranya setengah berbisik. "Apa sih? Akunga ngerti."

"Ah kamu ini memang terlalu lugu. Resti itukan berubah sejak ikut ngaji rutin di sekolah, ku dengar-dengar dia juga aktif ikut organisasi dakwah di luar sekolah. Denger-denger sih oragniasani terlarang gitu. Pengen penerapan Islam secara berlebihan. Makanya serba ga boleh. Pacaran ga boleh. Berteman laki perempuan pun ga boleh. Ujung-ujungnya bisa jadi kaya berita yang lagi viral sekarang." Lanjut Guntur, aku paham yang dimaksudnya. Persis seperti koran yang kubaca tadi.

***

Di rumah, di sekolah, di ceramah pengajian rumah. Gerakan yang katanya radikal ini diberitakan sudah mewabah. Kampus aja katanya sudah banyak terpapar Islam radikal. Aku jadi ngeri juga. Dan bener sih ciri-cirinya lama-lama semakin mirip sama Resti.

*** 6 bulan kemudian ***

"Panggilan kepada Galuh Ningrum, Galuh Ningrum, ada tamu. Sialkan datang ke ruang kunjungan!" Suara pengumuman dari ruang depan.

Pasti Guntur yang datang mau membebaskanku. Aku bergegas. Ga sabar rasanya ingin menghirup udara segar kembali. Kulihat dari kejauhan tak ada satupun pengunjung yang menggambarkan sosok Guntur. Ah siapa tau di terlindung di balik pengunjung lainnya.

"Assalamualaikum Ningrum" Seseorang menyapa dan memegang pundakku dari belakang. "Hah, kamu Res-ti?" "Iya, aku sahabatmu Ningrum." Kami berpelukan dan saling menumpahkan air mata.

"Res, sejak jauh dari kamu, ga ada yang mengingatkanku lagi" "Aku minta maaf ya Rum, waktu pengumuman itu aku dapat telpon kalau ayahku ditangkap polisi. Jadi aku langsung pergi." "Hah, emang kenapa Ayahmu, apa nabrak orang?" Pertanyaan yang kangsung meluncur begitu saja. Karena yang kutahu ayah Resti supir yang jujur dan baik hati. Ga mungkin melakukan kejahatan.

"Saat itu kami sedang butuh biaya buat biaya pengobatan ibuku. Sudah berminggu-munggu kami usahakan cari pinjaman tapi ga dapat juga. Aku memang kecewa saat mendengar bukan namaku sebagai juara. Tapi sebenarnya aku bahagia karena kamulah orangnya. Allah membuktikan bahwa tanpa membeli kunci jawaban dan tetap jujur dalam ujian, kamu tetap bisa. Semua Allahnyang beri jika kita mau berusaha."

Aku hanya bisa mengangguk. "Jujur mulia bohong hina." Ucapku menirukan kalimant yang Resti ulang-ulang saat kami menjelang ujian. "Ia Res kamu benar, Allah maha pengasih."

"Hanya saja saat itu aku sangat berharap hadiah dari pak Bupati waktu itu bisa untuk biaya ibuku. Tapi sudahlah, semua sudah berlalu. Ibuku sudah ga ada Rum." Sontak aku semakin merasa bersalah, tak pekanya aku pada sahabatku. Ya, aku ingat kala itu aku sedang asik-asiknya menikmati kebersamaan dengan Guntur.

"Kenapa kamu ga bilang ke aku Res? Kan aku bisa pinjamin atau malah ku kasihkan saja semua uang itu ke kamu. Daripada habis di tangan Guntur." Aku sungguh kesal jika ingat masa itu. "Dia pinjam buat bisnis, katanya setahun ini akan dikbalikan. Bukan dikembalikan malah aku yang akhirnya masuk jeruji."

Resti terkaget mendengar ceritaku. "Memangnya bisnis apa Rum?" Bisnis barang haram Res, karna transaksinya lewat rekeningku makanya aku yang terciduk. Dia bilang akan carikan uang tebusan untukku. Sampai sekarang ga datang-datang. Ah sudahlah Res, kita ga perlu bahas dia lagi."

Resti menatapku penuh rasa iba, sambil meremas tanganku. Ia ingin menguatkanku. Tapi aku ga mau larut dengan masalahku. Kupikir masalahnya lebih berat dariku. "Lalu Bapakmu kenapa Res?"

"Kurang lebih sama denganmu Rum. Bapak putus asa mencari pinjaman tanpa bunga dan agunan, akhirnya Bapak terima orderan antar barang dengan upah yang lumayan. Bapak pikir gapapa, eh taunya.. Tapi Allah masih sayang sama keluarga kami. Bapak tertangkap tangan saat mengirim pil Jenit ke pertokoan di ujung kota. Ibu jadi tambah pikiran, tak lama beliau meninggal." Matanya berkaca-kaca.

Kupeluk Resti, banyak kesalahpahamanku ke dia selama ini. Ternyata akulah sahabat yang jahat. Ga tahu kondisi sahabat, malah menghakiminya dengan berbagai kecurigaan.

Sekarang giliranku menepuk bahunya, tanda kekagumanku pada ketabahannya. "Kamu hebat Res, Sedang aku, hampir saja aku putus asa. Untung kamu datang Res. Tolong beri aku penguatan."

"Alhamdulillah Rum, aku bisa lewati semuanya berkat bekal ilmu agama saat ikut Rohis dan pengajian intensif setelahnya. Sedikit banyak bisa paham mana kondisi yang bisa kita kuasai dan kita dihisab atasnya. Di sinilah aku berusaha semaksimalnya untuk melakukan sesuai petunjuknya. Termasuk waktu itu aku putusi Guntur dan ga lagi mau nongkrong seperti biasa."

Hmm, aku baru tahu kenapa Resti berubah. Bukan karna marah, tapi karena Allah.

"Sementara untuk perkara yang menguasai manusia, ustazahku bilang, kita cukup bersabar dan rido atas semuanya. Itu sudah ketetapan-Nya. Insya Allah ada kebaikan di baliknya."

Lagi-lagi aku iri sama Resti. Dia selalu lebih unggul dalam kebaikan. Aku benar-benar menyesal.

"Ah itulah salahku Res. Aku takut kehilangan kebebasan. Makanya aku ga mau kamu ajakin ikut Rohis waktu itu. Apalagi setelah isu Islam radikal itu, aku seolah dapat pembenaran untuk menjauh dari pengajian. Jadilah hidupku kacau, imanku makin hari makin habis. Hampir saja kesucianku pun habis. Entahlah Res, apakah Allah masih mau mengampuniku?"

"Jangan putus asa Rum, Allah Maha pengampun" sahut Resti. "Tapi dosaku terlalu banyak Res."

Resti kembali menggenggam tanganku sambil membacakan sebuah ayat yang sangat indah. Dari ayat itulah aku bertekad untuk berubah.

"Satu-satunya jalan selamat adalah Islam, menjauhinya sama halnya aku mencari celaka. Bismillah.." Kubulatkan tekad.

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (53) وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ (54)

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” (QS. Az Zumar: 53-54).

Posting Komentar

My Instagram

Designed By OddThemes | Distributed By Blogger Templates