Kartini, Emansipasi dan Eksploitasi
(Radar Banjarmasin 22/4/2017)
Oleh: Wati, SPd
Dari sepuluh isi surat Kartini yang dilansir oleh uniqpost.com, menunjukkan bahwa ide emansipasi yang beliau upayakan sama sekali tidak terdapat indikasi adanya tuntutan kesetaraan gender secara mutlak sebagaimana yang diklaim para pengusung emansipasi abad ini.
Sebagai seorang wanita cerdas beliau mampu memahami bahwa penciptaan laki-laki dan wanita dari segi jenisnya memang berbeda yang melahirkan perbedaan hak dan tanggung jawab secara kodrati. Karenanya di dalam suratnya yang ditujukan kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1901:
“Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya : menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”.
Emansipasi Yang Perlu Diwaspadai
Kaum feminis menganggap kesetaraan dalam segala hal adalah suatu keharusan dalam menyelesaikan masalah wanita. Menurut mereka semua wajib setara tanpa ada batasan.
Jika laki-laki boleh jadi pemimpin negara maka wanita pun harus diperbolehkan. Jika laki-laki bebas berkarya di dunia publik maka wanita pun tak boleh dihalangi sama sekali. Seolah kebebasan dalam segala hal menjadi simbol dan tuntutan saat membahas emansipasi saat ini.
Padahal yang diinginkan Kartini hanyalah kesetaraan dalam hak pendidikan. Dari sana Kartini yakin wanita akan lebih baik dalam melaksanakan tugas-tugasnya sehingga mampu memberikan kontribusi untuk kemajuan sebuah negeri.
Sejalan dengan Islam bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi laki-laki dan wanita, sekaligus menjadi kewajiban negara untuk menyelenggarakannya bagi seluruh rakyatnya. Adapun dalam hal kelelakian dan kewanitaan yang memang jelas berbeda secara penciptaan organ tubuh, laki-laki dan wanita justru harus dibedakan. Bukan untuk mendiskriminasi melainkan sebagai solusi.
Misalnya saja wanita wajib menyusui, lelaki tidak. Wanita menutup aurat seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan, lelaki hanya sebatas pusar dan lutut. Demikian juga lelaki wajib mencari nafkah, wanita justru memiliki hak untuk dinafkahi. Dengannya tugas istri sebagai pendidik generasi tak terbebani hal lain yang menyebabkan penurunan kualitas apalagi sampai pada pelalaian kewajibannya sebagai pendidik anak. Demikian seterusnya semua yang ditetapkan Allah Swt adalah solusi untuk permasalahan kehidupan laki-laki dan wanita.
Berbeda dengan yang terjadi saat ini. Tuntutan kesamaan dalam berbagai bidang justru membuat wanita kebablasan dalam hal yang tidak disyariatkan. Semua pekerjaan laki-laki baik terpaksa maupun sukarela mereka jalani. Semakin sama aktivitas diantara mereka semakin dianggap maju, padahal hakikatnya justru menjerumuskan para wanita pada eksploitasi tingkat tinggi. Tak ada yang didapati kecuali semakin menggemukkan pundi-pundi para kapitalis.
Lihat saja bagaimana saat ini wanita telah sukses menguasai dunia publik namun justru menambah deretan fakta pelecehan terhadap wanita. Ironisnya lagi semakin banyak wanita berpendidikan tinggi saat ini justru berbanding lurus dengan semakin bobroknya mental generasi bangsa saat ini. Inikah kemajuan yang dulu dicita-citakan Kartini? Eksploitasi berbalut emansipasi semacam inilah yang harus diwaspadai.
Saatnya Wanita Menjadi Pejuang Sejati
Pejuang sejati adalah seseorang yang mau mengorbankan apapun yang dimilikinya untuk sebuah cita-cita mulia. Bagi seorang muslimah tolok ukur mulia tentunya hanyalah ridho Allah Swt.
Islam memiliki standar jelas terkait mulia dan hina. Maka sudah seharusnya para muslimah menjadikan hukum syara sebagai standarisasi segala perbuatan. Yang harus dipahami oleh seluruh wanita adalah bahwasanya kemuliaan wanita hanya dapat terpelihara dengan penerapan hukum-hukum Allah Swt dalam seluruh sendi kehidupan.
Jika dulu seorang Kartini secara sendirian dan teknologi seadanya mampu memperjuangkan salah satu hukum Allah Swt yaitu hak pendidikan yang merata. Maka sudah seharusnya kita para wanita masa kini, dengan berbagai ilmu yang didapati dan kemajuan teknologi mampu berjuang lebih. Yaitu memperjuangkan hukum-hukum Allah Swt yang lainnya yang saat ini masih belum diterapkan secara merata.
Sistem ekonomi yang masih berbasis kapitalis, politik yang masih dikuasai para korporat atas nama demokrasi. Sistem pergaulan yang masih bernafas kebebasan dan sistem peradilan yang masih tak kunjung dirasakan keadilannya. Bahkan pendidikan itu sendiri yang hingga saat ini belumlah pada posisi ideal yaitu pendidikan gratis yang berkualitas untuk semua kalangan. Semuanya itu bersumber dari ide sekularisme yang masih dijadikan dasar di negeri ini, memisahkan agama dari kehidupan. Sejatinya inilah yang harus diperjuangkan. Yang namanya berjuang pastilah butuh pengorbanan. Sebagaimana pesan beliau:
“Pergilah, laksanakan cita-citamu. Bekerjalah untuk hari depan. Bekerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas. Dibawah hukum yang tidak adil dan paham-paham palsu tentang mana yang baik dan mana yang jahat. Pergi! Pergilah! Berjuang dan menderitalah, tetapi bekerja untuk kepentingan yang abadi."(Surat Kartini kepada Nyonya Abendon, 4 September 1901: uniqpost.com)
Sekiranya ini mampu menjadi penyemangat diri untuk berbuat lebih untuk negeri ini. Apalagi kalau bukan memperjuangkan risalah Ilahi. Karena hanya sistem Islam yang mampu menyelamatakan seluruh umat manusia di dunia sekaligus menjadi penyelamat para pejuangnya kelak di kehidupan abadi. #IndonesiaMoveUp hanya dengan sistem Islam dan jika diterapkan secara sempurna dijamin rahmatnya akan menyebar ke seluruh alam.
Wallahu ‘alam.
#MasyirahPanjiRasulullah
#IslamRahmatanLilalamin
#MenulisUntukPerubahan
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Posting Komentar