Dilan dan Dunia Pendidikan

//Dilan dan Dunia Pendidikan//

Oleh: Wati, SPd
(Radar Banjarmasin, 03/02/2018)


"JANGAN RINDU! Berat, kamu tak akan kuat. Biar aku saja." Penggalan rayuan seorang remaja pria pada pacarnya dalam film yang sedang  kekinian. Bagi para pendidik pasti bisa merasakan bahwa film yang mengobral rindu inilah yang membuat berat proses pendidikan.

"Tak hanya olah pikir (literasi), PPK mendorong agar pendidikan nasional kembali memperhatikan olah hati (etik dan spiritual) olah rasa (estetik), dan juga olah raga (kinestetik). Keempat dimensi pendidikan ini hendaknya dapat dilakukan secara utuh-menyeluruh dan serentak. Integrasi proses pembelajaran intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler di sekolah dapat dilaksanakan dengan berbasis pada pengembangan budaya sekolah maupun melalui kolaborasi dengan komunitas-komunitas di luar lingkungan pendidikan." (kemendikbud.go.id, 17/7/17)

KOLABORASI, adalah kata yang saya garis bawahi. Tentu kolaborasi inilah yang menjadi harapan memudahkan berhasilnya pendidikan. Namun sayang hingga saat ini hal itu pula yang nampaknya belum bisa diwujudkan. Justru yang nampak adalah kesimpang siuran yang membuat pendidikan semakin berat.

Yang namanya pembentukan karakter tentunya adalah penanaman sebuah nilai secara utuh dan kuat. Yang secara otomatis akan tercermin pada diri seseorang.

Menanamkan karakter religius pada anak tentunya dengan menanamkan ajaran agama secara utuh dan mengakar. Faktanya ajaran agama saat ini mengalami kerdilisasi. Sebagian ajarannya dijauhkan bahkan dikriminalkan. Secara tidak langsung ini menyatakan bahwa agama itu tidak sepenuhnya benar. Lalu bagaimana kita bisa meyakinkan generasi, bahwa agama itu harus diyakini sepenuhnya.

Bagaimana juga menanamkan karakter integritas pada anak jika tayangan 'memabukan' naluri seksual justru dibebaskan bergentayangan. Film Dilan misalnya, dari iklan dan sinopsisnya tergambar  isinya seputar anak muda yang pandai merayu pacarnya. Bahwa hidup hanya sekedar mencari kesenangan.

Setiap anak muda yang menontonnya tanpa ada pegangan agama utuh, pasti akan ATM. Meng-amati , tiru, moditikasi. Yang laki-laki akan belajar merayu, menaklukan hati wanita. Dan wanitanya sukarela bahkan bangga untuk menjadi target rayuan. Jangan heran jika akhirnya aktivitas generasi kita hanya seputaran cinta, cinta dan cinta.

"Guru dibayar murah untuk memperbaiki akhlak generasi, tapi artis dibayar mahal untuk menghancurkannya." Nampaknya merupakan meme yang tepat untuk menggambarkan kondisi saat ini. Sistem pendidikan berkali-kali dirombak demi lakukan perbaikan. Tapi di sisi lain dunia perfilman atau media juga secara kontinyu menanyangkan film yang melumpuhkan upaya perbaikan itu sendiri.

Begitu juga sistem peradilan dan aturan yang dihasilkan. 'Jauh panggang dari api' dihadapan selogan tujuan pendidikan. Dalam proses pendidikan seorang pendidik berbusa-busa menyampaikan bahwa kita harus jujur dan amanah. Sementara fakta mengajarkan bahwa jika ingin curang itu jangan tanggung-tanggung. Uang hasil curang itu justru mampu menjadi penyelamat. Terbukti dari lambat bahkan hilangnya kasus-kasus kecurangan skala raksasa yang acap kali dipertontonkan di negeri ini.

Ketidak sinkronan kebijakan dimasing-masing bidang kehidupan, tak hanya memberatkan guru. Tapi juga orang tua sebagai penanggung jawab utama pendidikan anak. Belum lagi ditambah beban kebutuhan hidup yang membuat banyak orang tua tak punya banyak waktu dan energi lagi untuk membersamai proses pendidikan anaknya.

Ujung-ujungnya dunia pergaulan dan tontonan lebih dominan mewarnai generasi. Jika kondisi ini terus menerus dibiarkan begitu saja. Maka gaya hidup hedonis dan liberalislah yang kelak akan menjadi karakter generasi negeri ini. Jangankan bisa mereka melanjutkan pengelolaan negeri ini. Mengelola diri sendiri saja mereka tak kuasa.

Jika kita menginginkan suatu hari generasi kita akan seperti Ibnu Sina (Avecheina), Al-Battani, Al-Baitar, Al-Khawarizmi dan lainnya. Mereka ilmuan sekaligus alim ulama bekarakter mulia. Maka tentu perlu kita cari tahu dan ikuti sistem pendidikan macam apa yang saat itu dilakoni oleh negeri tempat mereka bertumbuh. Dalam gambaran seorang  Profesor filsafat, Oliver Leaman, jelas bahwa generasi hebat itu merupakah hasil penerapan aturan Islam.

  … Islam di Spanyol mempunyai reputasi selama ratusan tahun dan menduduki puncak tertinggi dalam pengetahuan filsafat, sains, tehnik dan matematika. Ia mirip seperti posisi Amerika saat ini, dimana beberapa universitas penting berada. (dudung.net/jejak-kegemilangan-umat-islam-dalam-pentas-sejarah-dunia)

Dalam Islam hakikat hidup adalah melaksanakan semua ketetapanNya. Dengan ketetapan yang bersumber dari Zat Yang Satu inilah otomatis menjadikan semua pihak saling berkolaborasi. Tak ada satupun aturan yang saling kontroversi. Yang lebih memudahkan adalah pelaksanaannya secara keseluruhan pernah dicontohkan secara tuntas oleh Rasulullah Saw. Diikuti para khulafaur rasyidin dan para khalifah sesudahnya.

Islam memiliki standar pengaturan yang jelas terkait siapa dan bagaimana penyelenggaraan pendidikan. Pos-pos pendapatan yang ditetapkan dalam sistem ekonomi Islam mampu menjamin kebutuhan biaya pendidikan. Tak perlu berharap dari pos pajak berbagai dunia produksi. Termasuk industri film, yang pada akhirnya melemahkan standar sensor tayangan. Media masa akan dikontrol dan dikendalikan sepenuhnya untuk menjaga ketinggian Islam dan pencerdasan masyarakat.

Sistem pergaulan dan sistem sanksi juga sangat berkontribusi dalam membentengi proses pendidikan dari segala penyimpangan. Aturan kehidupan yang diterapkan secara nyata mempertontonkan mulianya manusia itu ada pada ilmunya. Sehingga ilmu menjadi sesuatu yang digandrungi.

Pada intinya penerapan aturan Islam secara keseluruhan secara bersamaan akan mampu mencipatakan manusia yang berkarakter mulia. Meniscayakan lahirnya kembali generasi kokoh penopang peradaban gemilang. Sejarah masa lalu yang tak pernah lekang dimakan waktu. Tidakkah sangat layak untuk ditiru? []

Posting Komentar

My Instagram

Designed By OddThemes | Distributed By Blogger Templates