Antara Jennifer Dunn dan Tsa'labah
Oleh: Wati Umi Diwanti
(Radar Banjarmasin, 6/1/18 hal.21)
Kembali untuk ketiga kalinya Jennifer Dunn tercyduk kasus narkoba. Dan ini bukanlah kasus satu-satunya yang membuatnya berurusan dengan hukum. Meski ia telah melakukan permintaan maaf dan mengaku menyesal, hanya saja tak tampak kesedihan menghias di wajahnya.
Sebenarnya tak hanya Jennifer Dunn, sering kita saksikan di berbagai media, orang yang tertangkap karena melakukan sebuah kesalahan masih bisa tersenyum dan bercanda, bahkan masih bisa kemana-mana dengan penuh suka cita. Di negeri ini, saat ini, hal seperti ini sudah biasa.
Jauh berbeda dengan apa yang terjadi di masa lalu. Seperti halnya kisah Tsalabah. Seorang laki-laki yang hidup di zaman Rasulullah Saw. Saat malam hari ia keluar rumah, tanpa sengaja melewati sebuah rumah. Di dalamnya terdapat seorang wanita sedang mandi tanpa sehelai kainpun. Tersebab bangunan rumah yang sangat sederhana tampaklah wanita itu oleh Tsalabah.
Ia sangat ketakutan lalu pergi menghilang. Kemudian Rasul mengutus Salman dan Umar untuk mencarinya. Akhirnya ditemukan di sebuah gunung antara Mekah dan Madinah dalam kondisi memprihatinkan. Menurut salah seorang di sana, tiap malam Tsalabah mendatangi orang-orang sambil meletakkan tangan di kepalanya dan berkata mengapa Engkau tak cabut saja nyawaku dan binasakan tubuhku dan tidak membiarkan aku menanti-nanti keputusan!”
Singkat cerita dibawalah Tsalabah menghadap Rasul yang sedang shalat. Saat mendengar Rasul membaca ayat tentang neraka, Tsalabah jatuh pingsan. Setelah sadar, Rasulullah pun bersabda, "Katakan Ya Tuhan Kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan di akhirat, serta peliharalah kami dari azab neraka". Tsa'labah berkata, "Dosaku wahai Rasulullah amat besar."
Tak lama setelah kejadian itu, Tsa'labah sakit keras. Rasul pun segera menemuinya dan meletakkan kepala Tsa'labah di pangkuannya. Tapi ia malah menyingkirkan kepalanya dari pangkuan Rasul, karena merasa jijik dengan dosanya sendiri. Hingga turunlah wahyu yang mengabarkan bahwasanya Allah telah menghapus kesalahannya. Mendengar kabar itu, Tsa'labah terpekik dan ia pun wafat saat itu juga.
Masya Allah, betapa dosa yang tak sengaja saja membuat Tsalabah tak mampu tersenyum lagi sepanjang hidupnya. Begitu juga dengan cerita Al-ghomidi yang merasa sangat bersalah, pernah khilaf melakukan perselingkuhan. Dia mendatangi Rasul untuk meminta dijatuhi hukuman. Padahal tak ada yang mengadukan dan tak ada saksi satupun.
Oleh Rasul kedatangan pertamanya ditolak dan memintanya pulang hingga melahirkan. Setelah melahirkan ia datang lagi, dan masih ditolak hingga menyempurnakan penyusuan anaknya. Setelah dua tahun ia pun datang kembali. Karena telah ada tiga kali pengakuan akhirnya dijatuhkanlah sanksi rajam padanya.
Sungguh kontras dengan yang terjadi saat ini. Sudah jelas ada saksi mata saja masih mati-matian untuk minta keringanan bahkan melakukan segala cara agar bisa dibebaskan dari hukuman.
"Wajar saja, kan Rasulullah masih ada." Perlu kita ketahui bahwa kejadian yang serupa banyak juga terjadi sepeninggal Rasulullah. Salah satunya di masa pemerintahan Umar Bin Khatab, Demi mencegah terus menerusnya fitnah menimpa para wanita akibat ketampanan seorang pemuda bernama Nashr ibn Hajjaj. Umar pun mengasingkannya ke Basyrah.
Tinggal disalah satu keluarga di Basyrah. Suatu ketika Nashr dan istri pemilik rumah terpergok saling menuliskan sesuatu di atas pasir. Sang suami yang tak bisa membaca kemudian memanggil orang lain untuk membacakannya, Dan ternyata isinya adalah ungkapan cinta antara keduanya. Seketika itu juga Nashr pergi dari rumah itu dengan rasa malu yang hebat dan rasa berdosa yang sangat besar.
Begitu pula cerita seorang anak penjual susu yang sangat takut melakukan kecurangan. Dalam kondisi miskin, ibunya tergoda untuk merayunya agar mencampuri susu mereka dengan air. Meski tengah malam dan tak ada orang, anak itu tetap takut melakukannya.
Jadi sebenarnya letak perbedaannya bukan ada atau tidaknya Rasulullah, tetapi pada diterapkan atau tidaknya syariat yang dibawa Rasulullah. Terbukti sepeninggal Rasulpun dan aturan itu masih diterapkan, masyarakat secara umum masih sangat takut dan menjaga diri dari kesalahan. Dan jikapun terkhilaf, mereka sangat berduka dan ingin dijatuhi hukuman segera, berharap diampuni segala dosa.
Ini karena sistem sanksi dalam Islam mengandung dua perkara. Pertama sebagai jawabir, yakni penebus dosa. Dengan diterapkannya Islam sebagai aturan yang melingkupi seluruh kehidupan otomatis membangun suasana keimanan yang tinggi. Sehingga masyarakat sangat menyadari bahwa menerima sanksi di dunia itu lebih baik daripada harus menanggungnya di akhirat nanti.
Yang kedua sebagai jawazir yakni pencegah berulangnya kembali kesalahan yang sama di kemudian hari. Sanksi yang ditetapkan dalam Islam terbukti efektif melahirkan efek jera pada pelaku dan yang lainnya. Bukan sanksi yang justru menjadikan pelaku semakin berani dan cekatan melakukan kejahatan serupa bahkan yang lebih raksasa. Sanksi tegas anti kompromi dan transaksi.
Dengan demikian tindak kejahatan sesungguhnya sangat bisa ditekan. Kehidupan bermasyarakatpun akan sangat terjaga dari setiap hal yang buruk. Dan ini tidak mustahil terjadi di negeri ini. Jika kita mau kembali mengambil aturan Islam sebagai sumber aturan dan hukum di negeri tercinta ini. Semoga. []
*Pengasuh MQ. Khadijah Al-Qubro, Revowriter Kalsel
Martapura
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Posting Komentar