//Suamiku Berubah//
Meski hanya lewat taaruf singkat, aku sangat bahagia menjadi istrinya. Dia sangat mengerti aku, bahkan kurasakan melebihi orang tua yang membersamaiku sejak kecil. Apapun yang jadi keinginanku selalu ia dukung.
Kehidupan kami memang sederhana, tapi aku sangat bahagia. Apalagi setelah kami mengenal dunia baru. Kami sama-sama hijrah dan aktif di salah satu jamaah dakwah yang sama. Meski kadang riak-riak kecil sebuah keluarga pun kurasakan. Normal lah ya, namanya juga hidup. Asam garam rumah tangga, justru itu yang menambah bahagia.
Aku begitu percaya padanya, tak pernah ada kecurigaan apapun. Dia termasuk laki-laki yang menjaga pergaulan, apalagi setelah kami lebih mendalami ajaran Islam. Hingga suatu ketika kurasakan ada sesuatu yang berbeda, dia berubah. Sering diam dan jarang di rumah.
Tak lama berselang ada informasi dari temanku yang kebetulan rekan kerja suamiku. Katanya di kantor lagi ada berita hot. Sahabat dekat suamiku secara diam-diam menikah lagi dengan rekan wanita di kantor. Kebetulan istri pertamanya seorang dokter yang harus dinas di kota berbeda. Dalam hatiku sih, wajar aja mungkin perlu pendamping di kota ini.
Tak lama setelahnya, ada lagi teman suamiku yang berpoligami. Bahkan ada beberapa lagi yang katanya sedang dalam pencarian calon madu. Entah kenapa aku merasa wabah poligami itu mulai menulari suamiku.
Apalagi setelah dalam sebuah mimpi. Aku lihat suamiku bersama wanita lain dan tak memperdulikan panggilanku. "Ah itu ga mungkin. Baliau kan tahu agama, berbeda dengan teman-temannya itu." Kucoba tutupi praduga dengan sebuah dogma.
Tapi semakin hari sikapnya semakin aneh. Suatu hari, dia berteleponan dengan seseorang dengan suara yang dipelankan. Padahal tidak biasanya begitu. "Ah mungkin karena tak ingin mengganggu tidurku saja." Masih kucoba berbaik sangka.
Lagi-lagi, beberapa hari kemudian saat kami di kamar, HP di tangannya berbunyi. Biasanya langsung angkat saja di manapun berada. Kali ini tidak, dia menuju dapur baru telepon diangkat. Aku pun sengaja mengikuti ke dapur.
Penasaran, suara wanitakah dibalik telepon sana. Remang-remang tak jelas. Bahkan dia langsung menyudahi telepon saat tahu aku membuntutinya. Langsung mencari kesibukan lain untuk menghindari serangan pertanyaanku.
Karena taka-teki masih tak terjawab aku pun memberanikan diri mengambil HP-nya. Padahal, sebelumnya tak pernah kulakukan kecuali sekedar numpang kirim pesan atau telepon saat pulsaku habis.
Kubuka-buka isi WA. Ada satu nomer tak bernama. Di sana ada pembicaraan mengenai kirim mengirim uang. Suamiku sebagai pihak yang mengirim. Chat terakhirnya mereka janjian ketemu malam ini. Lagi-lagi masalah uang.
Kecurigaanku semakin besar. Kalo sudah urusan uang bisa jadi ini masalah penafkahan. Ya Allah siapakah wanita diujung sana yang sukses merebut hati suamiku.
Benar, malam itu suamiku meminta izin ke kota sebelah. Lumayan jauh. Jaraknya satu jam dari rumah kami. Baliau bilang ada undangan dari bisnis barunya. Ya, aku pun sebenarnya sudah pernah diberitahu tentang bisnis itu. Dia ada cerita beberapa waktu lalu.
Tapi ini sepertinya hanya modus. Pertemuannya bisa jadi tidak harus. Hanya menunaikan janji ketemu seseorang tak bernama itu yang membuatnya sesemangat ini. Singkat cerita, permintaanku agar ia urungkan niat tak digubris. Dia tetap berangkat.
Aku hanya bisa menangis di kamar, tentu setelah kedua anak-anakku tertidur. Agar mereka tak tahu aku dan ayahnya sedang ada masalah.
Kucoba bersabar, tidak langsung mengamuk. Karena jika benar suamiku sudah menikah lagi, aku harusnya ga boleh marah. Meski baru belajar Islam, tapi aku berusaha selalu ridha dengan syariat yang telah Allah tetapkan. Salah satunya tentang poligami ini. Bahwa lelaki boleh menikahi lebih dari satu wanita. Lagipula pernafkahanku dan anak-anak sama sekali tak terganggu.
Tapi, kenapa harus diam-diam? Meski terang-tetangan pun tidak menjamin hatiku bisa langsung nrimo. Tapi ini jauh lebih menyakitkan. Kalo wanita itu orang baik-baik, masa' sih mau dinikahi secara diam-diam. Atau suamiku yang mengaku masih bujangan. Tiap memikirkannya hatiku seperti tersayat, pedih rasanya.
Tapi aku ga mau anak-anak dan orang tua tahu. Kucoba cara halus. Di setiap kesempatan selalu kucoba memancing agar dia mau terbuka. Kemana uang-uang itu dikirimnya.
Tapi hasilnya nihil. Justru semakin pandai ia menutupi. Akhirnya aku ga tahan. Jadilah sosmed sebagai pelarian. Kutuliskan kata demi kata kekecewaan dan kesedihanku di sana.
Banyak teman-temanku yang meng-inbox dan me-WA padaku. Mempertanyakan keadaanku. Dan kubilang, aku hanya latihan menulis saja. Tak ada apa-apa. Kututupi masalahku. Tapi tidak ke satu orang ini. Dia kakak tingkatku, dulu ketua Rohis. Aku ceritakan semuanya. Bahwa suamiku punya simpanan dan aku sudah tidak tahan.
Dia bilang turut prihatin dan memberi motivasi untuk bersabar. Segala ayat dan hadis dia kirimkan. Tapi bukannya aku bertambah sabar. Yang ada, aku justru ingin semakin cepat meningalkan suamiku. Apalagi setelah aku tak bisa lagi membuka HPnya. Dia kunci dengan kode rahasia. Sempurnalah sudah kecurigaanku.
Entah kenapa, lama-lama aku malah mengagumi mantan ketua rohis itu. Sejak dulu dia memang baik dan bijaksana. Ya Allah, astagfirullah. Apa-apaan ini. Aku ga boleh berbuat yang lebih buruk dari suamiku. Kasian anak-anaku. Apa jadinya jika dia tau ayah ibunya ga bener. Ayahnya punya simpanan dan ibunya jadi simpanan.
Hingga suatu ketika, aku merasa sedikit bahagia. Mulai terlupakan betapa menyakitkannya perubahan suamiku. Ya, saat aku tau kakak kelasku itu masih jomblo. Jika aku pilih berpisah dari suamiku. Kubiarkan dia dengan yang baru. Lalu aku dengan kakak tingkatku. Pasti ini lebih baik untuk kami. Aku ga akan terus-terusan sakit hati begini.
"Mana mungkin dia mau denganku yang sudah beranak dua. Sementara di luar sana pasti banyak wanita yang mendambanya. Dia aja yang belum mau. Tapi siapa tahu, kalau memang dia jodohku." Pikiran usil ini selalu berkelebat di benakku tiap hari.
Kuputuskan untuk mencari cara agar bisa pisah dengan suami baik-baik. Atau setidaknya alasan perpisahan bukan karena kesalahanku. Kucoba cari bukti-buti bahwa dialah yang memulai dan aku layak minta cerai.
Kubuka lemari tempat ia menyimpan barang-barang pentingnya. Dan benar, di sana ada sebuah amplop besar bertutup rapat dan sangat rapi. Di depannya ada pita berwarna pink, cantik sekali. Ini bisa jadi petunjuk ketidak jujurannya padaku. Pasti ini untuk wanita itu. Apa gerangan isinya hingga amplopnya saja begitu istimewa. Tak sabar lagi, dan akupun merobeknya tanpa sengaja.
Di dalamnya ada sebuah sertifikat dan selembar surat.
***
Sayang, maafkan Abang selama ini membuat kamu sedih. Abang jadi jarang di rumah. Abang ga bisa bilang apa adanya tentang kepergian Abang malam itu. Abang tahu kamu sedih. Tapi ini perjuangan buat Abang.
Sepuluh tahun sudah kita bersama tak satupun yang bisa Abang persembahan untuk membahaagiakanmu. Tapi kamu tak pernah mengeluh. Kamu selalu baik dan setia. Melayaniku dan anak-anak kita.
Abang tahu akhir-akhir ini sikapmu berubah karena menduga Abang menyimpan sesuatu. Kamu benar. Abang memang menyimpan sesuatu. Tapi itu untuk kamu sayang. Hari ini, persis sepuluh tahun lalu akad nikah kita. Abang persembahkan ini untukmu.
Sertifikat tanah, semoga suatu saat Abang bisa bangunkan rumah untukmu dan anak-anak kita disana. Maafkan Abang, baru bisa berikan ini untuk kalian.
Malam itu Abang harus pergi karena harus berakad dengan pemilik tanah ini. Abang sengaja telepon sembunyi-sembunyi karena kamu pasti ga mau Abang terbebani dengan pembelian tanah ini. Dan pasti kamu pun akan ikut kepikiran jika tahu tanah ini harus dicicil tiap bulan.
Memang akhirnya Abang harus lebih sering keluar, karena ada usaha lain yang Abang lakukan untuk cicilan tanah ini. Alhamdulillah usaha abang lancar dan kemarin Abang bisa lunasi semuanya.
Kamu pasti senang kan sayang? Mulai hari ini Abang ingin lihat senyummu lagi. Abang tak akan sembunyikan apapun lagi darimu.
Paling tidak, sekali seumur hidup Abang bisa memberi kejutan indah untukmu, istri sholihahku. Abang sangat bahagia bisa melakukannya. Semoga kamu juga bahagia. Teruslah setia dan sabar mendampingi Abang dan anak-anak.
***
Airmataku tumpah ruah. Betapa dosa besar aku selama ini. Telah berburuk sangka pada dia yang begitu luar biasa.
Astagfirullah ya Allah, ampuni dosaku. Jika ia pulang nanti akan kucium kakinya, akan kupersembahkan yang terbaik untuknya di seluruh sisa hidupku. Aku berjanji padaMu ya Robb.
Terima kasih Kau masih pelihara aku dari kesalahan yang jauh lebih besar. Terima kasih kau berikan aku pasangan yang begitu indah. Semoga kebersamaan kami hingga ke Jannah.
-Wati Umi Diwanti-
I am glad that you have shared this story. Not every woman can tell people such things. Anyway, I hope, that everything will be good soon.
BalasHapus